Selama aku di pondok, setiap kali Ayah datang berkunjung, aku memang selalu dengan tegas meminta Ayah untuk tidak menikah lagi. Aku bilang, aku tidak mau ada perempuan lain yang menggantikan Ibu. Aku akan membenci Ayah jika menikah lagi. Ayah selalu terdiam. Entah apa yang terpikir di benak Beliau. Yang jelas, Beliau memang tak pernah menikah lagi hingga saat ini.
Sekarang, setelah beranjak dewasa, aku sebenarnya sadar telah egois dan zalim pada Ayah. Beliau harusnya berhak menikah lagi. Ketika Ibu meninggal, Ayah masih sangat muda, 43 tahun. Tentu sangat wajar jika ingin menikah lagi.
Tapi, meski sadar, aku tetap merasa nyaman seperti saat ini. Berdua saja dengan Ayah. Tak perlu ada perempuan lain hadir dalam hidup kami. Entah bagaimana dengan Ayah. Aku tidak bisa memastikan, apakah beliau masih menyisakan keinginan untuk menikah lagi atau tidak.
Begitulah, semua kondisi itu memang membuat hubunganku dengan Ayah menjadi serba canggung. Apalagi enam tahun ini aku di pondok. Bertemu Ayah hanya sesekali saja. Tidak ada interaksi yang intens. Jarang berkomunikasi. Wajar kalau kami tidak cair ketika ngobrol. Ada semacam penghalang psikologis yang menyebabkan kami tidak bisa akrab.
"Lea, sekarang apa Kamu masih sebal sama ayah karena dulu ayah masukin pondok?" tanya Ayah seraya tersenyum, memecah keheningan suasana sarapan kami.
"Ndak, sih, Yah," jawabku singkat sambil terus menyuap nasi goreng.
Ayah Kembali tersenyum lalu mengangguk-angguk kecil. Ada semacam kelegaan tersirat dari air muka Beliau mendengar jawabanku itu.
Ya, gimana aku akan menyesal. Aku sebentar lagi akan berangkat ke Mesir untuk studi di sana. Aku berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di negeri pyramid itu.
Sekarang, aku justru berterima kasih pada Ayah karena dulu memaksaku masuk pesantren. Aku berhasil menjadi santri unggul, dan mampu menyelesaikan studi sebagai salah seorang lulusan terbaik. Kemudian mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studi S1 dengan opsi berlanjut hingga S2 bahkan S3. Semua jelas karena Ayah. Tapi, tentu aku tak akan mengakuinya secara berlebihan pada Ayah. Aku masih malu mengingat betapa kerasnya penolakan dan tuduhanku pada Beliau dulu.
"Ternyata menyenangkan, toh, mondok itu?" Suara Ayah lirih.
Aku lirik Beliau. Tatapan kami beradu karena Ayah ternyata juga berkata-kata sambil melirikku dengan sudut matanya.