3.Persangkaan,
4.Pengakuan, dan
5.Sumpah.
Namun, penulis tidak berhenti pada aspek formal. Ia mengaitkan pembuktian dengan prinsip Islam tentang al-bayyinah 'ala al-mudda'i wal-yamin 'ala man ankara --- "beban pembuktian ada pada pihak yang mendalilkan, sedangkan sumpah dibebankan pada pihak yang menyangkal."
Buku ini menarik karena memadukan logika hukum positif dan moral keislaman.
Misalnya, penulis menekankan bahwa dalam perkara perceraian, hakim tidak hanya menilai bukti formal seperti surat atau saksi, tetapi juga melihat aspek moralitas, kesesuaian fakta, dan konteks sosial. Seorang saksi yang jujur tetapi memiliki hubungan dekat dengan pihak berperkara, misalnya, tetap bisa diterima sepanjang kesaksiannya kredibel dan tidak bertentangan dengan fakta lain.
Lebih jauh, penulis juga menyoroti peran bukti elektronik di era modern. Meskipun HIR dan RBg tidak secara eksplisit mengaturnya, PERMA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik memberi ruang bagi bukti digital seperti rekaman video atau tangkapan layar percakapan daring. Ini menjadi langkah maju menuju sistem pembuktian yang adaptif terhadap teknologi.
Dengan cara yang elegan, penulis mengajak pembaca memahami bahwa pembuktian bukan semata persoalan hukum prosedural, tetapi juga proses mencari kebenaran yang jujur dan bertanggung jawab. Hakim, dalam pandangan penulis, bukan hanya "penilai bukti", tetapi juga penegak moral yang menuntun manusia kepada kebenaran hakiki.
Bab VI --- Penyitaan dan Eksekusi: Wajah Tegas dari Keadilan
Bab keenam membawa pembaca pada tahap akhir proses peradilan: penyitaan dan eksekusi. Di sini, keadilan yang sebelumnya abstrak akhirnya "turun ke bumi" dalam bentuk pelaksanaan nyata.
Penulis menjelaskan bahwa penyitaan (beslag) adalah tindakan hukum yang dilakukan untuk menjamin agar barang atau harta yang disengketakan tidak dialihkan atau hilang selama proses perkara. Penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan hakim setelah mendengar keterangan para pihak.