Review Buku: Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Teori dan Praktik
Umarwan Sutopo, Lc., M.H.I; Martha Eri Safira, M.H; Neneng Uswatun Khasanah, Lc., M.Ud
CV. Nata Karya, Ponorogo, 2021. ISBN: 978-602-5774-66-9.
Oleh: Annisa Nur Fadhillah ( 232121076 )Â
Pendahuluan
Dalam sistem hukum nasional Indonesia, Peradilan Agama memiliki kedudukan penting sebagai lembaga yang menegakkan hukum bagi umat Islam, khususnya dalam perkara keluarga dan ekonomi syariah. Namun, seiring berkembangnya zaman, proses peradilan tidak bisa hanya berpijak pada aturan normatif. Ia perlu menghadirkan keadilan yang cepat, transparan, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Di sinilah urgensi buku "Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Teori dan Praktik" karya Umarwan Sutopo, Lc., M.H.I., Martha Eri Safira, M.H., dan Neneng Uswatun Khasanah, Lc., M.Ud. menjadi nyata. Buku yang terbit pada tahun 2021 ini menyajikan gambaran utuh tentang bagaimana hukum acara peradilan agama bekerja --- bukan hanya sebagai teori yang diajarkan di ruang kuliah, tetapi juga sebagai praktik nyata di ruang sidang.
Penulis berhasil memadukan pendekatan normatif dan praktis, menjadikan buku ini bukan sekadar bahan bacaan akademik, melainkan juga panduan teknis bagi mahasiswa, calon panitera, bahkan hakim pemula. Di sisi lain, gaya penulisannya sederhana dan komunikatif, membuatnya mudah dicerna oleh pembaca umum yang ingin memahami bagaimana sistem keadilan Islam berjalan di Indonesia.
Buku ini terdiri dari delapan bab utama, yang disusun secara sistematis mulai dari pengenalan dasar hukum acara, asas-asas peradilan agama, tahapan berperkara, hingga inovasi e-court dan e-litigasi yang kini diterapkan di seluruh peradilan agama Indonesia.
Sebagai pembaca, kita diajak berjalan dari "gerbang teori" menuju "lorong praktik" peradilan yang sesungguhnya.
Bab I --- Ruang Lingkup, Sejarah, dan Asas Hukum Acara Peradilan Agama
Bab pertama membuka buku ini dengan fondasi yang kokoh. Penulis menjelaskan bahwa hukum acara merupakan jantung dari pelaksanaan keadilan. Tanpa hukum acara, hukum materiil hanya menjadi teori tanpa daya paksa. Dalam konteks Peradilan Agama, hukum acara menjadi instrumen untuk menegakkan hukum keluarga Islam --- mulai dari perkawinan, warisan, wasiat, hibah, hingga ekonomi syariah.
Penulis kemudian menguraikan secara historis bagaimana hukum acara perdata Indonesia berakar dari sistem kolonial Belanda melalui HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) untuk Jawa-Madura, dan RBg (Reglement voor de Buitengewesten) untuk luar Jawa-Madura. Di sisi lain, B.Rv (Burgerlijk Rechtsvordering) menjadi rujukan bagi pengadilan tinggi.
Namun, lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diperbarui dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009, menjadi tonggak sejarah penting. Undang-undang tersebut menegaskan eksistensi peradilan agama sebagai lembaga peradilan resmi dalam sistem hukum nasional.
Bab ini juga menyoroti asas-asas dasar hukum acara, antara lain:
1.Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan,
2.Asas hakim bersifat pasif namun aktif menggali nilai hukum dan keadilan,
3.Asas persidangan terbuka untuk umum,
4.Asas personalitas keislaman,
5.Dan asas perdamaian, yang menekankan pentingnya mediasi dalam setiap perkara.
Menariknya, penulis tidak hanya memaparkan asas-asas tersebut secara normatif, tetapi juga menunjukkan relevansinya dengan nilai-nilai syariah dan praktik di lapangan. Misalnya, asas perdamaian dikaitkan dengan konsep ishlah dalam Islam, yang mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai sebelum dijatuhkan putusan.
Pendekatan seperti ini menunjukkan gaya penulisan yang reflektif dan kontekstual --- khas akademisi yang memahami realitas pengadilan.
Bab II --- Gugatan dan Permohonan
Jika Bab I adalah pondasi teoretis, maka Bab II adalah pintu masuk ke dunia praktik. Penulis menjelaskan secara detail perbedaan mendasar antara gugatan (contentiosa) dan permohonan (voluntair).
Gugatan digunakan ketika ada sengketa antara dua pihak --- misalnya dalam perkara perceraian, harta bersama, atau warisan. Sementara itu, permohonan diajukan untuk penetapan hukum yang tidak melibatkan pihak lawan, seperti pengesahan nikah atau penetapan ahli waris.
Bab ini terasa sangat praktis karena penulis menguraikan langkah-langkah pendaftaran perkara di kepaniteraan. Dari mulai datangnya pihak ke "meja pertama", pengisian formulir gugatan, penaksiran panjar biaya perkara, hingga penerbitan SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Semua proses itu dijelaskan dengan bahasa sederhana, seolah pembaca diajak melihat langsung dinamika meja pendaftaran di pengadilan agama.
Selain menjelaskan teori gugatan, penulis juga menyentuh aspek teknis yuridis seperti:
1.Obscuur libel, yaitu gugatan kabur yang tidak jelas dasar hukumnya;
2.Error in persona, kesalahan menyebut pihak yang berperkara;
3.Nebis in idem, perkara yang sudah pernah diputus sebelumnya;
4.Dan kompetensi absolut serta relatif, yang menentukan apakah suatu perkara menjadi kewenangan PA atau bukan.
Penulis bahkan menambahkan mekanisme beracara prodeo (bebas biaya) bagi pihak yang tidak mampu, menunjukkan sensitivitas sosial dari sistem peradilan agama.
Yang menarik, bagian ini tidak hanya menjelaskan "apa" dan "bagaimana", tetapi juga menyiratkan "mengapa" --- mengapa hukum acara harus diikuti dengan teliti, dan mengapa kesalahan sekecil apa pun dalam gugatan bisa berakibat fatal bagi pencari keadilan.
Bab ini dengan indah menggambarkan keseimbangan antara formalitas hukum dan kemanusiaan yang menjadi roh peradilan agama.
Bab III --- Mediasi dan Perdamaian dalam Bingkai Syariah
Bab ketiga dari buku ini menempatkan mediasi sebagai titik keseimbangan antara hukum dan kemanusiaan. Di tengah kesibukan pengadilan yang sering diidentikkan dengan konflik dan keputusan, penulis mengingatkan bahwa tugas utama hakim agama adalah mendamaikan, bukan sekadar memutus.
Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, setiap perkara perdata --- termasuk di lingkungan peradilan agama --- wajib menempuh tahap mediasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan pokok perkara dimulai. Ketentuan ini merupakan pengejawantahan dari asas perdamaian yang menjadi ruh hukum Islam.
Penulis menjelaskan bahwa mediasi dilakukan oleh mediator yang bisa berasal dari hakim pengadilan maupun mediator non-hakim bersertifikat. Prosesnya melibatkan musyawarah yang bersifat tertutup, rahasia, dan sukarela. Jika para pihak mencapai kesepakatan, hasil mediasi dituangkan dalam Akta Perdamaian (Akta van Dading) yang memiliki kekuatan hukum tetap. Akta ini tidak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga simbol keberhasilan prinsip ishlah dalam Islam.
Yang menarik, buku ini tidak hanya berhenti pada aspek normatif. Penulis menyinggung aspek psikologis di balik proses mediasi: perasaan, kepercayaan, dan harapan para pihak yang terlibat. Dalam dunia hukum yang sering terasa kaku, penulis mengembalikan sentuhan kemanusiaan --- bahwa hukum sejatinya hadir untuk memulihkan, bukan melukai.
Dari sisi praktik, bab ini juga menyoroti bagaimana peran aktif hakim sebagai mediator menjadi tantangan tersendiri. Hakim diharuskan mampu bersikap netral, namun tetap mendorong para pihak untuk berdamai. Di sinilah keahlian komunikasi dan empati menjadi faktor penting.
Melalui uraian ini, penulis berhasil menempatkan mediasi bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi sebagai ibadah sosial dan manifestasi nilai keadilan Islam.
Bab IV --- Pemeriksaan Perkara: Antara Prosedur dan Keadilan Substantif
Bab keempat menggambarkan proses pemeriksaan perkara di ruang sidang --- titik di mana teori bertemu praktik. Buku ini menjelaskan dengan runtut setiap tahap:
Mulai dari pemanggilan para pihak, sidang pertama, pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian, hingga kesimpulan dan putusan.
Penulis menegaskan bahwa pemeriksaan di pengadilan agama dilaksanakan secara terbuka untuk umum, kecuali perkara tertentu seperti perceraian, yang bersifat tertutup demi menjaga kehormatan para pihak.
Selain itu, hakim dituntut menjalankan asas audi et alteram partem --- mendengarkan kedua belah pihak secara adil.
Penjelasan tentang pemeriksaan verstek (putusan tanpa kehadiran tergugat) menjadi salah satu bagian menarik. Penulis menguraikan bahwa putusan verstek dapat dijatuhkan apabila tergugat yang telah dipanggil secara sah tidak hadir tanpa alasan yang sah. Namun, tergugat masih diberi hak mengajukan verzet (perlawanan) dalam jangka waktu tertentu.
Bab ini juga memperlihatkan peran penting panitera pengganti, yang mencatat jalannya sidang dalam berita acara secara lengkap. Buku ini menjelaskan fungsi administratif panitera bukan sekadar juru tulis, tetapi juga pengawal prosedural agar tidak terjadi pelanggaran hukum acara.
Dari perspektif nilai, penulis menekankan bahwa hakim dalam Peradilan Agama tidak boleh hanya berpegang pada teks hukum, tetapi juga pada etika dan moralitas Islam. Pemeriksaan bukan sekadar formalitas hukum, melainkan sarana menegakkan maqasid al-syari'ah --- tujuan syariah yang meliputi keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan.
Bab ini menampilkan keseimbangan yang indah antara hukum positif dan nilai spiritual. Ia memperlihatkan bahwa di balik setiap palu sidang, ada tanggung jawab moral yang besar untuk memastikan hukum tidak hanya "ditegakkan", tetapi juga "didirikan" di atas nilai keadilan yang hakiki.
Bab V --- Pembuktian: Antara Fakta dan Kebenaran Hakiki
Bab kelima menjadi salah satu bagian paling kaya secara ilmiah. Penulis menegaskan bahwa pembuktian adalah inti dari setiap proses peradilan, sebab melalui pembuktianlah hakim menentukan kebenaran atas dalil-dalil para pihak.
Bab ini menjelaskan bahwa dasar hukum pembuktian diambil dari Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata, yang menetapkan lima alat bukti sah:
1.Bukti tulisan atau surat,
2.Saksi,
3.Persangkaan,
4.Pengakuan, dan
5.Sumpah.
Namun, penulis tidak berhenti pada aspek formal. Ia mengaitkan pembuktian dengan prinsip Islam tentang al-bayyinah 'ala al-mudda'i wal-yamin 'ala man ankara --- "beban pembuktian ada pada pihak yang mendalilkan, sedangkan sumpah dibebankan pada pihak yang menyangkal."
Buku ini menarik karena memadukan logika hukum positif dan moral keislaman.
Misalnya, penulis menekankan bahwa dalam perkara perceraian, hakim tidak hanya menilai bukti formal seperti surat atau saksi, tetapi juga melihat aspek moralitas, kesesuaian fakta, dan konteks sosial. Seorang saksi yang jujur tetapi memiliki hubungan dekat dengan pihak berperkara, misalnya, tetap bisa diterima sepanjang kesaksiannya kredibel dan tidak bertentangan dengan fakta lain.
Lebih jauh, penulis juga menyoroti peran bukti elektronik di era modern. Meskipun HIR dan RBg tidak secara eksplisit mengaturnya, PERMA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik memberi ruang bagi bukti digital seperti rekaman video atau tangkapan layar percakapan daring. Ini menjadi langkah maju menuju sistem pembuktian yang adaptif terhadap teknologi.
Dengan cara yang elegan, penulis mengajak pembaca memahami bahwa pembuktian bukan semata persoalan hukum prosedural, tetapi juga proses mencari kebenaran yang jujur dan bertanggung jawab. Hakim, dalam pandangan penulis, bukan hanya "penilai bukti", tetapi juga penegak moral yang menuntun manusia kepada kebenaran hakiki.
Bab VI --- Penyitaan dan Eksekusi: Wajah Tegas dari Keadilan
Bab keenam membawa pembaca pada tahap akhir proses peradilan: penyitaan dan eksekusi. Di sini, keadilan yang sebelumnya abstrak akhirnya "turun ke bumi" dalam bentuk pelaksanaan nyata.
Penulis menjelaskan bahwa penyitaan (beslag) adalah tindakan hukum yang dilakukan untuk menjamin agar barang atau harta yang disengketakan tidak dialihkan atau hilang selama proses perkara. Penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan hakim setelah mendengar keterangan para pihak.
Buku ini menjelaskan jenis-jenis penyitaan seperti:
*Conservatoir beslag (penyitaan jaminan),
*Revindicatoir beslag (penyitaan untuk mengembalikan barang kepada pemiliknya),
*Executorial beslag (penyitaan untuk pelaksanaan putusan).
Seluruhnya dijelaskan dengan bahasa yang lugas, lengkap dengan dasar hukum dan praktik di pengadilan agama.
Setelah penyitaan, tahap berikutnya adalah eksekusi, yaitu pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Penulis menjelaskan bahwa eksekusi bukan semata urusan administratif, tetapi ujian terakhir bagi wibawa pengadilan. Dalam praktik, pelaksanaan eksekusi seringkali menghadapi tantangan sosial dan psikologis, terutama jika melibatkan sengketa keluarga.
Yang menarik, buku ini menyoroti konsep teguran (aanmaning) sebelum eksekusi dilakukan. Hakim Ketua memberi kesempatan terakhir kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan secara sukarela. Hanya jika mereka menolak, barulah pengadilan memerintahkan pelaksanaan eksekusi paksa.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip keadilan Islam yang menempatkan amar ma'ruf (anjuran kebaikan) sebelum nahi munkar (paksaan hukum).
Pada bagian akhir bab, penulis menggarisbawahi bahwa keberhasilan peradilan tidak hanya diukur dari jumlah perkara yang diputus, tetapi juga dari kemampuan menegakkan putusan itu sendiri. Di sinilah esensi keadilan diuji: ketika hukum yang tertulis benar-benar diimplementasikan di dunia nyata.
Bab VII --- Putusan Hakim dan Upaya Hukum: Antara Keadilan dan Kepastian
Setelah melalui proses pemeriksaan, pembuktian, hingga penyitaan, puncak dari seluruh perjalanan perkara di pengadilan agama adalah putusan hakim. Bab ini menunjukkan bagaimana "palu hakim" tidak sekadar simbol kekuasaan, melainkan juga tanggung jawab moral yang berat.
Penulis menjelaskan bahwa putusan hakim adalah hasil akhir dari proses berpikir hukum berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan. Setiap putusan harus memuat unsur-unsur penting seperti:
*Kepala putusan (atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa),
*Identitas para pihak,
*Pertimbangan hukum (ratio decidendi),
*Amar putusan,
*Dan tanggal serta tanda tangan hakim dan panitera.
Penulis memberikan penekanan kuat pada bagian pertimbangan hukum, karena di sinilah letak keadilan sesungguhnya diuji. Hakim yang baik, kata penulis, bukan hanya membaca pasal-pasal hukum, tetapi juga menggali nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan hakim "menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat".
Dalam konteks Peradilan Agama, pertimbangan hukum juga harus memperhatikan nilai-nilai syariah. Misalnya, dalam perkara talak, hakim tidak hanya menilai sah atau tidaknya talak secara hukum, tetapi juga menimbang akibat sosial dan psikologis bagi istri dan anak.
Hal ini menunjukkan bahwa hakim agama bekerja bukan sekadar sebagai jurist, tetapi juga sebagai moral guardian yang menegakkan keadilan dengan kelembutan nilai Islam.
Bab ini juga membahas secara rinci upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan, seperti:
1.Verzet (perlawanan terhadap putusan verstek),
2.Banding ke Pengadilan Tinggi Agama,
3.Kasasi ke Mahkamah Agung,
4.Peninjauan Kembali (PK) atas dasar novum atau kekhilafan hakim.
Menariknya, penulis menggarisbawahi bahwa upaya hukum bukanlah bentuk perlawanan terhadap pengadilan, melainkan bagian dari mekanisme koreksi internal untuk menjamin keadilan substantif.
Melalui uraian ini, pembaca disadarkan bahwa sistem peradilan Islam di Indonesia bukan sistem yang tertutup, melainkan terbuka terhadap perbaikan dan pengawasan.
Di akhir bab, penulis menegaskan bahwa sebuah putusan baru benar-benar bermakna bila mampu memberi ketenangan batin bagi para pihak dan menegakkan keadilan sosial.
Dengan gaya naratif yang kuat, buku ini mengingatkan kita bahwa hukum sejatinya bukan alat kekuasaan, melainkan jalan menuju kedamaian.
Bab VIII --- Administrasi Online (E-Court dan E-Litigation): Transformasi Digital Peradilkedamaia
Bab kedelapan merupakan bab paling kontekstual dan modern. Di sini, penulis menyoroti perubahan besar dalam dunia peradilan Indonesia: lahirnya E-Court dan E-Litigation sebagai sistem administrasi dan persidangan berbasis teknologi informasi.
Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, E-Court memungkinkan para pihak untuk:
1.Mendaftarkan perkara secara daring (E-Filing),
2.Melakukan pembayaran biaya perkara (E-Payment),
3.Menerima panggilan sidang secara elektronik (E-Summons),
4.Dan bahkan menjalankan persidangan daring (E-Litigation).
Penulis menjelaskan bahwa sistem ini dirancang untuk mewujudkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman.
Namun, keunggulan e-court bukan hanya soal efisiensi. Lebih dari itu, sistem ini menjadi simbol keterbukaan dan akses keadilan yang lebih luas. Di masa pandemi COVID-19, misalnya, sistem e-court terbukti menjadi penyelamat karena peradilan tetap bisa berjalan tanpa harus mempertemukan para pihak secara fisik.
Dalam paparan yang cukup detail, penulis menjelaskan modul-modul E-Court, seperti:
1.E-Filing, di mana penggugat dapat mengajukan gugatan dari rumah tanpa datang ke pengadilan.
2.E-Payment, yang memungkinkan pembayaran panjar biaya secara transparan melalui sistem perbankan.
3.E-Summons, pemanggilan elektronik yang efisien dan mengurangi risiko keterlambatan.
4.E-Litigation, tahap persidangan daring yang mempercepat penyelesaian perkara.
5.E-Document, sistem pengiriman berkas digital untuk keperluan administrasi dan bukti.
Penulis juga jujur mengungkap tantangan implementasi, seperti keterbatasan jaringan internet di daerah, kurangnya literasi digital masyarakat, dan kesiapan SDM pengadilan. Tetapi, buku ini tetap optimistis bahwa digitalisasi peradilan adalah keniscayaan.
Bab ini menjadi penutup yang visioner --- menunjukkan bagaimana hukum Islam di Indonesia tidak statis, tetapi terus bergerak menyesuaikan zaman tanpa kehilangan esensinya.
Analisis Kritis: Menyatukan Teori, Praktik, dan Spirit Keadilan
Buku Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Teori dan Praktik bukan sekadar kompilasi aturan dan prosedur hukum. Ia adalah narasi tentang perjalanan panjang sistem keadilan Islam di Indonesia, yang berusaha menyeimbangkan antara teks hukum, nilai moral, dan realitas sosial.
Kekuatan Buku
1.Kelengkapan Materi dan Struktur Sistematis
Buku ini membahas seluruh tahapan hukum acara secara menyeluruh: dari teori asas hingga implementasi digitalisasi. Ini menjadikannya bahan ajar ideal bagi mahasiswa hukum dan syariah.
2.Perpaduan antara Hukum Positif dan Nilai Islam
Setiap pasal hukum selalu dikaitkan dengan prinsip-prinsip fiqh dan maqasid al-syari'ah. Pendekatan ini memperkaya pemahaman pembaca bahwa keadilan tidak hanya bersumber dari peraturan, tetapi juga dari etika keagamaan.
3.Kontekstualisasi Era Digital
Pembahasan e-court dan e-litigasi membuat buku ini relevan dengan dinamika peradilan modern. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
4.Bahasa yang Jelas dan Aplikatif
Gaya penulis yang sederhana dan langsung membuat buku ini tidak hanya bermanfaat bagi akademisi, tetapi juga bagi panitera, advokat, dan masyarakat umum.
Kelemahan dan Catatan Pengembangan
1.Minim Studi Kasus Yurisprudensi
Buku ini lebih dominan normatif. Akan lebih kuat bila dilengkapi analisis putusan Mahkamah Agung terbaru agar pembaca memahami penerapan hukum acara dalam konteks konkret.
2.Kurangnya Data Empiris Tentang E-Court
Penulis belum menampilkan data lapangan, seperti tingkat keberhasilan, kendala, dan persepsi pengguna e-court di peradilan agama. Padahal aspek ini penting untuk evaluasi kebijakan hukum.
3.Lampiran Praktis Masih Terbatas
Walaupun ada uraian teknis, contoh surat gugatan, SKUM, dan akta perdamaian bisa diperbanyak untuk menunjang praktikum mahasiswa.
Nilai Lebih Buku
Hal yang patut diapresiasi adalah keberanian penulis memadukan teks hukum dan spirit spiritual. Ia tidak menulis hukum acara dengan kering, tetapi menyelipkan nilai-nilai humanistik Islam: keadilan, empati, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Buku ini seakan mengajarkan bahwa hakim tidak hanya memutus perkara, tetapi juga menuntun manusia pada kebenaran.
Penutup: Cermin Evolusi Peradilan Agama Indonesia
Buku Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Teori dan Praktik karya Umarwan Sutopo dkk. Merupakan kontribusi penting dalam memperkaya khazanah literatur hukum Islam di Indonesia. Ia menghadirkan perpaduan sempurna antara teori, praktik, dan nilai-nilai spiritual.
Melalui penjelasan yang runtut dan bahasa yang mudah dipahami, penulis berhasil menjembatani dunia akademik dengan dunia praktik peradilan.
Kehadiran bab tentang digitalisasi hukum menandai langkah maju menuju peradilan agama yang modern, efisien, dan inklusif.
Buku ini tidak hanya layak dibaca oleh mahasiswa hukum keluarga Islam, tetapi juga oleh setiap insan yang percaya bahwa hukum adalah bagian dari ibadah --- sarana menegakkan keadilan yang berpihak kepada kemaslahatan manusia.
Sebagai pembaca, kita diajak merenung:
Bahwa di balik setiap berkas perkara, ada kisah manusia yang mencari keadilan.
Bahwa di balik setiap palu hakim, ada tanggung jawab spiritual yang besar.
Dan bahwa hukum Islam --- sebagaimana ditunjukkan dalam buku ini --- bukanlah warisan masa lalu, melainkan sistem hidup yang terus tumbuh mengikuti zaman.
Buku ini menegaskan satu hal penting:
Keadilan bukan hanya soal keputusan, tetapi juga tentang proses dan niat tulus menegakkannya.
Refleksi Akhir: Hukum, Keadilan, dan Jiwa Peradilan Agama
Membaca buku Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Teori dan Praktik sebenarnya seperti membaca perjalanan spiritual hukum Islam di Indonesia. Setiap bab bukan hanya menjelaskan prosedur, tetapi juga menyiratkan nilai: bahwa di balik setiap pasal hukum, ada niat luhur untuk menegakkan kebenaran.
Buku ini hadir di tengah zaman ketika keadilan sering diukur dengan kecepatan dan teknologi. Namun, penulis mengingatkan bahwa substansi keadilan tetaplah tentang manusia. E-court, e-payment, dan e-litigation hanyalah alat bantu; yang menentukan keadilan bukan sistem, melainkan nurani hakim, profesionalitas panitera, dan kejujuran para pihak.
Penulis juga menegaskan kembali peran penting hakim peradilan agama --- bukan sekadar pelaksana undang-undang, tetapi juga penjaga moral umat. Dalam konteks sosial Indonesia yang semakin kompleks, hakim agama tidak hanya menghadapi persoalan hukum formal, tetapi juga problem moral, ekonomi, bahkan psikologis. Oleh sebab itu, buku ini menjadi pengingat bahwa hakim harus memiliki keseimbangan antara keilmuan dan keikhlasan, antara profesionalitas dan ketulusan.
Dari perspektif akademik, karya ini juga memperlihatkan kematangan metodologis penulis. Setiap konsep hukum acara dijelaskan secara sistematis, disertai dasar normatif dan nilai syariah yang melandasinya. Namun di sisi lain, penulis tidak menutup mata terhadap realitas empiris. Ia mengakui masih ada tantangan --- seperti keterbatasan sumber daya manusia, tumpang tindih aturan, atau keterlambatan adopsi teknologi di sebagian wilayah.
Justru di titik inilah buku ini memiliki nilai kritik konstruktif: ia tidak sekadar meneguhkan sistem, tetapi juga mendorong perbaikan berkelanjutan.
Lebih jauh, buku ini menyampaikan pesan moral bahwa peradilan agama adalah cermin wajah Islam di mata masyarakat. Bila peradilan berjalan adil, profesional, dan transparan, maka citra Islam pun terangkat sebagai agama yang menegakkan keadilan dan kasih sayang. Tetapi bila peradilan tergelincir dalam birokrasi, maka citra Islam pun ikut tercoreng. Karena itu, setiap pegawai, hakim, maupun mahasiswa hukum yang membaca buku ini diajak untuk melihat hukum bukan sebagai pekerjaan, melainkan sebagai amanah ilahi.
Dalam konteks pendidikan tinggi, buku ini juga memiliki nilai strategis. Ia bisa dijadikan buku ajar utama untuk mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama sekaligus pedoman praktikum peradilan semu. Mahasiswa tidak hanya diajak menghafal pasal-pasal, tetapi memahami alur perkara, tanggung jawab etik, dan peran kemanusiaan di balik setiap proses hukum.
Akhirnya, buku ini mengajarkan bahwa keadilan dalam Islam bukanlah hasil dari kekuasaan, melainkan buah dari kesungguhan hati. Hukum acara hanya menjadi alat; yang memberi makna adalah manusia yang menjalankannya.
Sebagaimana ditulis penulis dalam semangatnya:
"Hukum yang baik tanpa pelaksana yang jujur hanyalah teks; namun pelaksana yang jujur mampu menjadikan hukum sebagai jalan menuju ridha Allah."
Kalimat ini menutup keseluruhan makna buku: bahwa setiap proses hukum, sekecil apa pun, adalah bagian dari ibadah.
Dan di situlah letak kekuatan sejati peradilan agama --- bukan pada palu hakim, tetapi pada niat tulus menegakkan keadilan atas nama Tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI