Penulis menjelaskan bahwa putusan hakim adalah hasil akhir dari proses berpikir hukum berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan. Setiap putusan harus memuat unsur-unsur penting seperti:
*Kepala putusan (atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa),
*Identitas para pihak,
*Pertimbangan hukum (ratio decidendi),
*Amar putusan,
*Dan tanggal serta tanda tangan hakim dan panitera.
Penulis memberikan penekanan kuat pada bagian pertimbangan hukum, karena di sinilah letak keadilan sesungguhnya diuji. Hakim yang baik, kata penulis, bukan hanya membaca pasal-pasal hukum, tetapi juga menggali nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan hakim "menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat".
Dalam konteks Peradilan Agama, pertimbangan hukum juga harus memperhatikan nilai-nilai syariah. Misalnya, dalam perkara talak, hakim tidak hanya menilai sah atau tidaknya talak secara hukum, tetapi juga menimbang akibat sosial dan psikologis bagi istri dan anak.
Hal ini menunjukkan bahwa hakim agama bekerja bukan sekadar sebagai jurist, tetapi juga sebagai moral guardian yang menegakkan keadilan dengan kelembutan nilai Islam.
Bab ini juga membahas secara rinci upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan, seperti:
1.Verzet (perlawanan terhadap putusan verstek),