Keadilan bukan hanya soal keputusan, tetapi juga tentang proses dan niat tulus menegakkannya.
Refleksi Akhir: Hukum, Keadilan, dan Jiwa Peradilan Agama
Membaca buku Hukum Acara Peradilan Agama: Dalam Teori dan Praktik sebenarnya seperti membaca perjalanan spiritual hukum Islam di Indonesia. Setiap bab bukan hanya menjelaskan prosedur, tetapi juga menyiratkan nilai: bahwa di balik setiap pasal hukum, ada niat luhur untuk menegakkan kebenaran.
Buku ini hadir di tengah zaman ketika keadilan sering diukur dengan kecepatan dan teknologi. Namun, penulis mengingatkan bahwa substansi keadilan tetaplah tentang manusia. E-court, e-payment, dan e-litigation hanyalah alat bantu; yang menentukan keadilan bukan sistem, melainkan nurani hakim, profesionalitas panitera, dan kejujuran para pihak.
Penulis juga menegaskan kembali peran penting hakim peradilan agama --- bukan sekadar pelaksana undang-undang, tetapi juga penjaga moral umat. Dalam konteks sosial Indonesia yang semakin kompleks, hakim agama tidak hanya menghadapi persoalan hukum formal, tetapi juga problem moral, ekonomi, bahkan psikologis. Oleh sebab itu, buku ini menjadi pengingat bahwa hakim harus memiliki keseimbangan antara keilmuan dan keikhlasan, antara profesionalitas dan ketulusan.
Dari perspektif akademik, karya ini juga memperlihatkan kematangan metodologis penulis. Setiap konsep hukum acara dijelaskan secara sistematis, disertai dasar normatif dan nilai syariah yang melandasinya. Namun di sisi lain, penulis tidak menutup mata terhadap realitas empiris. Ia mengakui masih ada tantangan --- seperti keterbatasan sumber daya manusia, tumpang tindih aturan, atau keterlambatan adopsi teknologi di sebagian wilayah.
Justru di titik inilah buku ini memiliki nilai kritik konstruktif: ia tidak sekadar meneguhkan sistem, tetapi juga mendorong perbaikan berkelanjutan.
Lebih jauh, buku ini menyampaikan pesan moral bahwa peradilan agama adalah cermin wajah Islam di mata masyarakat. Bila peradilan berjalan adil, profesional, dan transparan, maka citra Islam pun terangkat sebagai agama yang menegakkan keadilan dan kasih sayang. Tetapi bila peradilan tergelincir dalam birokrasi, maka citra Islam pun ikut tercoreng. Karena itu, setiap pegawai, hakim, maupun mahasiswa hukum yang membaca buku ini diajak untuk melihat hukum bukan sebagai pekerjaan, melainkan sebagai amanah ilahi.
Dalam konteks pendidikan tinggi, buku ini juga memiliki nilai strategis. Ia bisa dijadikan buku ajar utama untuk mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama sekaligus pedoman praktikum peradilan semu. Mahasiswa tidak hanya diajak menghafal pasal-pasal, tetapi memahami alur perkara, tanggung jawab etik, dan peran kemanusiaan di balik setiap proses hukum.
Akhirnya, buku ini mengajarkan bahwa keadilan dalam Islam bukanlah hasil dari kekuasaan, melainkan buah dari kesungguhan hati. Hukum acara hanya menjadi alat; yang memberi makna adalah manusia yang menjalankannya.
Sebagaimana ditulis penulis dalam semangatnya: