Penulis menegaskan bahwa pemeriksaan di pengadilan agama dilaksanakan secara terbuka untuk umum, kecuali perkara tertentu seperti perceraian, yang bersifat tertutup demi menjaga kehormatan para pihak.
Selain itu, hakim dituntut menjalankan asas audi et alteram partem --- mendengarkan kedua belah pihak secara adil.
Penjelasan tentang pemeriksaan verstek (putusan tanpa kehadiran tergugat) menjadi salah satu bagian menarik. Penulis menguraikan bahwa putusan verstek dapat dijatuhkan apabila tergugat yang telah dipanggil secara sah tidak hadir tanpa alasan yang sah. Namun, tergugat masih diberi hak mengajukan verzet (perlawanan) dalam jangka waktu tertentu.
Bab ini juga memperlihatkan peran penting panitera pengganti, yang mencatat jalannya sidang dalam berita acara secara lengkap. Buku ini menjelaskan fungsi administratif panitera bukan sekadar juru tulis, tetapi juga pengawal prosedural agar tidak terjadi pelanggaran hukum acara.
Dari perspektif nilai, penulis menekankan bahwa hakim dalam Peradilan Agama tidak boleh hanya berpegang pada teks hukum, tetapi juga pada etika dan moralitas Islam. Pemeriksaan bukan sekadar formalitas hukum, melainkan sarana menegakkan maqasid al-syari'ah --- tujuan syariah yang meliputi keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan.
Bab ini menampilkan keseimbangan yang indah antara hukum positif dan nilai spiritual. Ia memperlihatkan bahwa di balik setiap palu sidang, ada tanggung jawab moral yang besar untuk memastikan hukum tidak hanya "ditegakkan", tetapi juga "didirikan" di atas nilai keadilan yang hakiki.
Bab V --- Pembuktian: Antara Fakta dan Kebenaran Hakiki
Bab kelima menjadi salah satu bagian paling kaya secara ilmiah. Penulis menegaskan bahwa pembuktian adalah inti dari setiap proses peradilan, sebab melalui pembuktianlah hakim menentukan kebenaran atas dalil-dalil para pihak.
Bab ini menjelaskan bahwa dasar hukum pembuktian diambil dari Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata, yang menetapkan lima alat bukti sah:
1.Bukti tulisan atau surat,
2.Saksi,