"Kau tak mengerti!" Kataku dengan nada kasar.
"Ya, aku paham. Aku memang tak punya anak. Kau pasti berfikir kalau aku tak mengerti dengan apa yang kau rasakan."
Kalimat itu cukup untuk membuatku merasa bersalah dan menghentikan tangisanku.
"Maaf, Shin. Aku tidak bermaksud..."
"Sudahlah. Tak apa. Aku pernah bilang, kau tidak akan bisa menyinggungku karena aku fidak akan pernah tersinggung." Kemudian dia melanjutkan, "Cobalah untuk menerimanya. Kau tak akan bisa membuatnya sama seperti dirimu. Dia anakmu, memang, tapi dia sebenarnya adalah anak alam. Dia hanya lewat darimu, bukan darimu. Lagipula, baik atau buruk anakmu, orang lain akan tetap berkomentar. Acuhlan saja."
"Baiklah." Kataku tanpa benar-benar paham dengan apa yang dikatakannya. Aku hanya ingin segera mengahiri percakapan karena aku telah menyinggungnya, sahabatku. Aku yakin telah menyinggungnya, hanya saja dia berkata dusta.
***
Shinta terkena penyakit kanker. Dia ternyata sudah stadium akhir. Dia diopnam di salah satu rumah sakit kota.
Saban hari aku mengunjunginya. Hampir saban hari. Kadang kubawakan dia roti. Lain waktu buah hingga bunga-bunga.
"Maaf, aku tak bisa selalu menemanimu." Kataku padanya.
"Tak apa. Kau harus tetap bekerja. Jangan sampai aku membuat pekerjaanmu jadi terhambat." Jawabnya.