Aku tak mengerti dengan ucapannya tapi Aku tertarik untuk menemaninya. Setidaknya aku bisa melihat sungai tanpa harus menunggu Ayah mengantarku.
"Aku ikut, Shin." Kataku.
"Ayo." Katanya tanpa menoleh padaku.
Di sungai dia hanya diam memandang ke arah sungai yang mengalir lumayan deras. Entah apa yang ada di fikirannya. Dia juga seakan tak merasa jika aku ada di sisinya. Dia tenggelam dalam diamnya. Akupun, entah kenapa seperti terhipnotis olehnya, aku ikut diam. Aku tak berani pula mengajaknya bernicara.
Kemudian dia menangis. Dia menangis tersedu-sedu sambil tetap tak bergeming menghadap sungai. Tangisnya terdengar sangat menyedihkan. Begitu dalam, begitu menyayat hati.
"Kamu kenapa?" Tanyaku kepadanya setelah kuberanikan diriku.
Dia tak menjawab. Dia masih terus saja menangis menghadap sungai.
"Kamu kenapa, Shin?" Kuulangi sekali lagi pertanyaanku.
Dia, masih dalam tangis, membuka bagian belakang kausnya. Lalu dia hadapkan punggungnya kepadaku. Aku kaget. Kelihat disana sebuah garis merah membentang dari atas ke bawah.
"Itu kenapa?" Tanyaku.
"Ayahku memukulku dengan rotan."