Mohon tunggu...
Andrilla Lukman
Andrilla Lukman Mohon Tunggu... Pelayan Cafe -

Aku adalah cipta. Langkahku adalah karya. Hatiku adalah seni. IG: andrilla_lukman Blog: https://thelittlewriter99.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangis Terakhir (Kisah Seorang Wanita)

21 Januari 2018   04:15 Diperbarui: 21 Januari 2018   08:48 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih ingat semuanya. Semua kenangan tentang dirinya. Dia, seseorang yang telah lama menemaniku. Ah, bukan. Aku yang ditemani olehnya, oleh ketegaran ya.

Kini dia telah tertidur. Aku yakin, dia tak akan bangun lagi. Mengharappun percuma. Tubuhnya telah terlilit kain kaffan. Siapa yang mau terbangun dengan tubuh terlilit kain putih berlapis-lapis? Rasanya tak ada.

Aku menangis ketika pertama kali mendengar kabar kepergiaannya. Tak mampu ku mengucapkan apapun. Hanya, ... ah, entah apa yang kurasakan saat itu. Aku terkejut, diam dan menangis terisak-isak. Aku menyesal karena tak berada di sisinya pada saat terakhirnya.

Meskipun aku tahu pasti, dia tak membutuhkan kehadiranku. Itu pasti. Dia memang, ... ah, bagaimana aku mengungkapkannya? Dia itu entah memiliki kepedulian atau tidak, aku tak tahu. Maksudku perasaannya. Apa dia memiliki rasa peduli? Entah. Dia bisa berdiri seorang diri dalam kehidupan ini jika dia mau dan memang dia telah menemukannya. Benar, memang, dialah yang menemaniku, bukan aku yang menemaninya. Itu membuatku bahagia.

***

"Kau mau kemana, Shin?" Tanyaku padanya suatu hari ketika aku berumur 10 tahun.


"Aku mau ke sungai." Jawabnya dengan sekilas memandangku.

"Ngapain?" Tanyaku heran. "Kau kesana sendirian?"

"Aku ingin kesana saja." Jawabnya. "Iyaa, aku kesana sendirian."

"Kata Ayahku, aku tidak boleh main ke sungai. Berbahaya. Kau bisa terseret arus sungai." Aku memperingatkan.

"Ayahku lebih suka kalau aku mati." Jawabnya sambil terus berjalan.

Aku tak mengerti dengan ucapannya tapi Aku tertarik untuk menemaninya. Setidaknya aku bisa melihat sungai tanpa harus menunggu Ayah mengantarku.

"Aku ikut, Shin." Kataku.

"Ayo." Katanya tanpa menoleh padaku.

Di sungai dia hanya diam memandang ke arah sungai yang mengalir lumayan deras. Entah apa yang ada di fikirannya. Dia juga seakan tak merasa jika aku ada di sisinya. Dia tenggelam dalam diamnya. Akupun, entah kenapa seperti terhipnotis olehnya, aku ikut diam. Aku tak berani pula mengajaknya bernicara.

Kemudian dia menangis. Dia menangis tersedu-sedu sambil tetap tak bergeming menghadap sungai. Tangisnya terdengar sangat menyedihkan. Begitu dalam, begitu menyayat hati.

"Kamu kenapa?" Tanyaku kepadanya setelah kuberanikan diriku.

Dia tak menjawab. Dia masih terus saja menangis menghadap sungai.

"Kamu kenapa, Shin?" Kuulangi sekali lagi pertanyaanku.

Dia, masih dalam tangis, membuka bagian belakang kausnya. Lalu dia hadapkan punggungnya kepadaku. Aku kaget. Kelihat disana sebuah garis merah membentang dari atas ke bawah.

"Itu kenapa?" Tanyaku.

"Ayahku memukulku dengan rotan."

"Haaa..." Aku kaget, "kenapa? Kau nalal?"

"Tak tahu. Dia sepertinya memiliki hobi memukuliku sejak tak lagi bersama dengan ibu." Jawabnya dengan masih terisak dan menghadap sungai. "Aku masih tak mengerti kenapa ibu dan ayah tak lagi serumah. Sebelum Ibu pergi, dia berkata kalau dia harus pergi dari rumah untuk kembali ke rumah nenek. Tapi entah kenapa dia tak juga pulang. Bahkan Ayah juga bilang kalau aku tak lagi boleh berkunjung ke rumah nenek."

"Jangan menangis. Dia hanya sedang pusing mungkin. Emm... Mungkin kau harus bertingkah lebih baik agar Ayahmu tidak memukulmu." Kataku menirukan omongan ibu saat aku menangis setelah dimarahi oleh Ayah.

"Terimakasih telah menemaniku ke sini. Kau sangat baik" katanya.

Kini dia berkata sambil menghadap ke arahku. Kulihat wajahnya memerah dan kelopak matanya jendol-jendol. Lalu dia memelukku.

Itulah terakhir kalinya kutemui dia menangis. 3 Febuari 1989. Aku ingat benar tanggalnya karena itu hanya berselang 2 hari setelah aku ulang tahun.

***

Aku sedang bingung. Aku lupa mengerjakan tugas rumah matematika ketika aku kelas 2 SMU. Entah bagaimana bisa aku lupa dengan tugas itu.

Aku menangis. Aku tak terlalu ahli dalam bidang matematika. Malam sudah larut, ditambah lagi soal yang begitu banyak membuatku semakin semruwung.

Shinta entah bagaimana ceritanya berkunjung ke rumahku. Aku kaget mengetahuinya bisa keluar malam-malam. Tapi di kemudian hari kusadar jika dia hidup seorang diri di rumahnya. Ayahnya meninggal saat kami berada di kelas 3 SLTP. Itu membuatnya bisa melakukan apapun tanpa ada yang melarang.

"Sudah, tak usah menangis. Ini salin!" Katanya sambil menyodorkan sebuah buku.

"Apa ini?" Tanyaku sambil terus menyeka air mataku.

"Bukankah kamu belum mengerjakan PR matematikamu?"

"Darimana kau tahu kalau aku belum mengerjakannya?" Tanyaku heran.

"Suatu saat kau akan tahu."

Jawaban itu terus mengganggu fikiranku hingga bertahun-tahun kemudian. Hingha akhirnya kusadari, ternyata tak sulit untuk mengetahui apakah aku sudah mengerjakan PR atau belum. Aku selalu bercerita jika aku sudah mengerjakan PR dan menanyai nya apakah dia sudah mengerjakan atau belum.

"Terimakasih, Shin." Kataku sambil menyalin pekerjaannya.

***

Suatu hari aku menemuinya setelah dia bercerai dengan suaminya.

"Kenapa kalian bercerai sebenarnya?" Tanyaku hati-hati. Takut menyinghung perasaannya.

"Aku mandul." Jawabnya tenang.

Aku kaget mendengar penuturannya. Dia sama sekali tak menampilkan ekspresi sedih atau tersinggung.

"Kau yakin?"

"Setidaknya begitulah kata dokter. Aku tak mengerti dunia kedokteran."

Dengan hati-hati aku berkata, "Sabar, ya, Shin."

"Kau tak perlu berkata sepelan itu. Aku tak akan pernah tersinggung. Terutama karena kata-katamu."

Aku terkejut saat dia mengatakannya. Dia seakan bisa membaca fikiranku.

***

Aku menangis. Kini warga akan mencemoohku sebagai ibu yang gagal. Anaku telah berani merokok, bahkan secara terang-terangan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana mereka akan mencemoohku.

Shinta berada di sampinhku saat itu. Dia menemaniku menangis. Aku menangis sambil menumpahkan cerita kekecewaan dan rasa malau yang kurasakan.

Dia hanya diam saat mendengarkan ceritaku. Dia seakan ingin membalas dendam kepadaku seperti kejadian di sungai kala itu.

Lama aku menangis dan panjang sudah cerita yang kuungkapkan. Lalu dia berkata,

"Kau tak perlu sesedih itu."

"Kau tak mengerti!" Kataku dengan nada kasar.

"Ya, aku paham. Aku memang tak punya anak. Kau pasti berfikir kalau aku tak mengerti dengan apa yang kau rasakan."

Kalimat itu cukup untuk membuatku merasa bersalah dan menghentikan tangisanku.

"Maaf, Shin. Aku tidak bermaksud..."

"Sudahlah. Tak apa. Aku pernah bilang, kau tidak akan bisa menyinggungku karena aku fidak akan pernah tersinggung." Kemudian dia melanjutkan, "Cobalah untuk menerimanya. Kau tak akan bisa membuatnya sama seperti dirimu. Dia anakmu, memang, tapi dia sebenarnya adalah anak alam. Dia hanya lewat darimu, bukan darimu. Lagipula, baik atau buruk anakmu, orang lain akan tetap berkomentar. Acuhlan saja."

"Baiklah." Kataku tanpa benar-benar paham dengan apa yang dikatakannya. Aku hanya ingin segera mengahiri percakapan karena aku telah menyinggungnya, sahabatku. Aku yakin telah menyinggungnya, hanya saja dia berkata dusta.

***

Shinta terkena penyakit kanker. Dia ternyata sudah stadium akhir. Dia diopnam di salah satu rumah sakit kota.

Saban hari aku mengunjunginya. Hampir saban hari. Kadang kubawakan dia roti. Lain waktu buah hingga bunga-bunga.

"Maaf, aku tak bisa selalu menemanimu." Kataku padanya.

"Tak apa. Kau harus tetap bekerja. Jangan sampai aku membuat pekerjaanmu jadi terhambat." Jawabnya.

Aku diam. Aku masih memiliki pertanyaan yang belum terjawab. Namun aku masih maju-mundur untuk menanyakannya. Tapi didorong oleh ucapannya yang berulang kali disampaikan padaku tentang dia yang tak akan pernah tersinggung, akhirnya kuputuskan untuk memberanikan diri bertanya.

"Shin..."

"Ya."

"Kau ingat kejadian di sungai sewaktu kita masih kecil? Sepuluh tahun kalai tidak salah saat itu."

"Tentu. Kenapa?"

"Pernahkah kau menangis lagi setelah itu?"

"Tidak." Jawabnya singkat.

"Sungguh?"

"Ya." Jawabnya, "lagipula kenapa aku harus menangis?"

"Kau tidak pernah bersedih?"

"Hahaha..." dia tertawa lantang, "untuk apa aku bersedih? Kehidupan ini bukan untuk ditangisi. Lagipula, tangisan adalah tanda kalau seseorang itu lemah."

"Sedih... ya, ya, ya." Katanya bergumam sendiri. "Menurutmu kenapa manusia menangis?"

"Karena kita sedih." Jawabku

"Kenapa manusia bisa sedih?"

"Emmmm... karena ada yang membuat sedih. " Kataku mencari-cari jawaban.

"Ya, tentulah. Kau lucu. Hahahaha..." Dia malah tertawa. "Tangis, kesedihan adalah bentuk ketololan. Kenapa harus bersedih? Aku, misal, aku tak bisa memiliki anak, lantas aku harus bersedih? Kurasa itu tak perlu. Menangis atau tidak, bersedih atau tidak, aku tetap tak bisa memiliki anak. Tiap manusia memilili jalan hidupnya masing-masing. Sayangnya kebanyakan tak menyadarinya dan terjebak dalam impian-impian kehidupan. Kehidupan yang seperti Michael Jackson atau Nicky Astria atau siapapun yang menjadi sorotan pada umumnya yang dianggap paling ideal. sekalipun itu adalah Nabi. Padahal,tiap manusia itu lahir dari dan dengan keadaan yang berbeda-beda, bagaimana bisa disamakan?"

"Inti dari hidup adalah mencari kebahagiaan dan kebahagiaan itu luas dan diciptakan oleh kita sendiri. Kebahagiaan bukan hanya kaya atau sehat atau sesuai dengan masyarakat. Apapun itu bisa dijadikan kebahagiaan."

"Aku bahagia dengan diriku. Sungguh. Jika kau berfikir jika aku tak bahagia, maka kau keliru. Aku memang tak memiliki anak, hidup dalam keluarga yang berantakan dan bahkan suamikupun meninggalkanku. Tapi aku bahagia. Aku menciptakan bahagiaku sendiri. Kau tak akan mengerti kurasa, tapi ini jujur. Kau tau aku tak pernah berdusta."

"Bahagia itu bukan senyum atau tawa. Apapun yang dilihat sebagai kebahagiaan itu cuma sebuah lambang, bukan bahagia itu sendiri. Bahagia itu urusan hati dan tak satupun manusia yang mampu mengungkapkan bahagianya. Tak ada kata yang mampu tuk menjelaskannya. Kata 'bahagia' pun sebenarnya hanya lambang dari 'bahagia' dan bukan 'bahagia'itu sendiri."

Itu adalah kata-kata terindah yang pernah kudengar darinya dan bahkan bisa dikatakan kata-kata terakhir yang kudengar karena keesokan harinya, saat dini hari, tepat jam 3 lebih 2 menit, dia meninggal. Jam kematiaannya sama persis dengan tanggal dimana dia terakhir kali menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun