Mohon tunggu...
Andrilla Lukman
Andrilla Lukman Mohon Tunggu... Pelayan Cafe -

Aku adalah cipta. Langkahku adalah karya. Hatiku adalah seni. IG: andrilla_lukman Blog: https://thelittlewriter99.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangis Terakhir (Kisah Seorang Wanita)

21 Januari 2018   04:15 Diperbarui: 21 Januari 2018   08:48 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Haaa..." Aku kaget, "kenapa? Kau nalal?"

"Tak tahu. Dia sepertinya memiliki hobi memukuliku sejak tak lagi bersama dengan ibu." Jawabnya dengan masih terisak dan menghadap sungai. "Aku masih tak mengerti kenapa ibu dan ayah tak lagi serumah. Sebelum Ibu pergi, dia berkata kalau dia harus pergi dari rumah untuk kembali ke rumah nenek. Tapi entah kenapa dia tak juga pulang. Bahkan Ayah juga bilang kalau aku tak lagi boleh berkunjung ke rumah nenek."

"Jangan menangis. Dia hanya sedang pusing mungkin. Emm... Mungkin kau harus bertingkah lebih baik agar Ayahmu tidak memukulmu." Kataku menirukan omongan ibu saat aku menangis setelah dimarahi oleh Ayah.

"Terimakasih telah menemaniku ke sini. Kau sangat baik" katanya.

Kini dia berkata sambil menghadap ke arahku. Kulihat wajahnya memerah dan kelopak matanya jendol-jendol. Lalu dia memelukku.

Itulah terakhir kalinya kutemui dia menangis. 3 Febuari 1989. Aku ingat benar tanggalnya karena itu hanya berselang 2 hari setelah aku ulang tahun.


***

Aku sedang bingung. Aku lupa mengerjakan tugas rumah matematika ketika aku kelas 2 SMU. Entah bagaimana bisa aku lupa dengan tugas itu.

Aku menangis. Aku tak terlalu ahli dalam bidang matematika. Malam sudah larut, ditambah lagi soal yang begitu banyak membuatku semakin semruwung.

Shinta entah bagaimana ceritanya berkunjung ke rumahku. Aku kaget mengetahuinya bisa keluar malam-malam. Tapi di kemudian hari kusadar jika dia hidup seorang diri di rumahnya. Ayahnya meninggal saat kami berada di kelas 3 SLTP. Itu membuatnya bisa melakukan apapun tanpa ada yang melarang.

"Sudah, tak usah menangis. Ini salin!" Katanya sambil menyodorkan sebuah buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun