"Terus, Abi salah beli ubi. Ada yang pahit karena bintik hitamnya."
Ibunya geleng-geleng. "Anak Ibu satu ini memang unik ya. Gak mau nyerah sebelum dapat."
Abi tertawa kecil. "Kayaknya ini terakhir, Bu. Udah capek. Mending nunggu makan kolak Ibu di rumah."
Keduanya tertawa bersama.
Seminggu kemudian, Abi pulang kampung. Sesampainya di rumah, keluarganya menyambut dengan hangat---ayah, ibu, dan kedua adik perempuannya.
Waktu berbuka puasa tiba. Abi merasa begitu senang bisa berbuka bersama keluarganya lagi. Di hadapannya, tersaji kolak pisang dan ubi yang selama ini ia impikan. Kali ini, ia yakin tidak akan kecewa lagi. Ia sudah di rumah.
Tanpa ragu, ia segera menyendok kolaknya. Suapan demi suapan ia lahap hingga tandas.
Abi merasa puas. Lega. Namun, entah kenapa, rasanya... biasa saja. Bukan karena kolaknya berbeda---ibu tetap membuatnya seenak yang ia ingat. Tapi kini ia sadar, yang sebenarnya ia rindukan bukan sekadar kolak, melainkan momen berbuka bersama keluarga.
Abi tersenyum kecil. Ternyata, yang ia cari selama ini bukan hanya rasa kolak, tapi kehangatan yang menyertainya. Di perantauan, takjil hanyalah makanan biasa, tapi di rumah, kolak adalah kebersamaan, cerita, dan cinta.
Ia menatap keluarganya---mendengar tawa adik-adiknya, melihat ibunya sibuk menuangkan teh untuk ayah. Dan saat itu, ia menyadari satu hal.
Akhirnya, Abi benar-benar pulang.