Sore harinya, ia mulai sibuk memasak. Ia memperhatikan catatan resep ibunya baik-baik, berusaha mengikuti setiap langkah dengan hati-hati. Ia tidak mau gagal kali ini. Aroma gula aren mulai memenuhi ruangan sempit itu, bercampur dengan wangi daun pandan yang mulai mendidih dalam santan.
Beberapa penghuni kos yang kebetulan melintas melihat kesibukannya. Salah satu dari mereka akhirnya menyapa.
"Sibuk banget, Mas. Tumben?"
Abi menoleh sekilas, sedikit terkejut. "Iya nih, kangen kolak rumah. Jadi coba bikin sendiri."
"Kenapa nggak beli aja?"
Abi tersenyum kecil, menghela napas. "Udah tiap hari beli, tapi beda rasanya."
Tetangga kosnya mengangguk paham sebelum pergi, sementara Abi kembali fokus ke panci di depannya, berharap kali ini ia bisa menciptakan rasa yang ia cari.
Setelah santan mendidih, Abi segera mematikan kompor. Kolaknya matang. Ia menuang satu mangkuk untuk dirinya sendiri---cukup untuk berbuka nanti. Sisanya ia biarkan di panci. Ia memberi tahu penghuni kos, siapa saja boleh mengambilnya jika ingin.
Dari tampilannya, kolaknya tidak terlalu mengecewakan. Warna santannya tampak pekat, dan aroma pandan tercium dengan jelas. Tapi bagaimana rasanya? Itu yang masih menjadi pertanyaan.
Menjelang maghrib, ia menyiapkan menu berbukanya di kamar: sepiring nasi dengan lauk sambal ikan, segelas air putih, beberapa butir kurma, dan tentu saja kolak buatannya. Begitu azan berkumandang, ia meneguk air putih terlebih dahulu, lalu mengambil sendok dan mengaduk kolaknya perlahan.
Aroma pandan kembali tercium. Harapannya membuncah. Ia mencicipi kuahnya. Namun, begitu kolak menyentuh lidahnya, ia terdiam.