Di seberang sana, ibunya hanya tersenyum. Ia tahu, yang dirindukan Abi bukan sekadar kolak.
Setelah beberapa hari mencoba di berbagai tempat, Abi mulai merasa pesimis. Apalagi setelah menelepon ibunya kemarin---ibunya sendiri bilang mustahil menemukan kolak yang sama. Sepertinya, tidak ada gunanya lagi mencari. Bahkan, sempat terpikir untuk menyerah saja.
Namun, sore itu, ketika ia pulang kerja tanpa niat mencari kolak lagi, matanya menangkap kerumunan orang yang sedang membagikan takjil gratis di pinggir jalan. Ia pun mendekat, berharap ada keberuntungan yang berpihak padanya kali ini.
Seorang relawan menyodorkan sebungkus takjil padanya. Saat membuka isinya, ia mendapati sop buah dan gorengan---bukan kolak. Tapi sekilas, ia melihat beberapa orang menerima bungkus yang sepertinya berisi kolak.
Abi ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, "Maaf, Mas, boleh tukar dengan kolak? Saya kurang suka sop buah."
Relawan itu tersenyum. "Oh, tentu, nggak masalah."
Abi menerima bungkusan kolak dengan lega. "Terima kasih, Mas. Semoga berkah."
Ia pun melangkah pergi, menggenggam bungkusan kolak dengan hati yang kembali dipenuhi harapan.
Setibanya di kos, azan Magrib berkumandang. Setelah meneguk air, Abi membuka bungkusan takjilnya dengan harapan besar. Kolaknya terlihat menjanjikan---ada pisang, ubi, dan beberapa isian asing. Dengan hati berdebar, ia menyendok suapan pertama. Begitu kolak menyentuh lidahnya, ia terdiam.
Bukan ini. Masih belum.
Rasanya terlalu manis---bukan dari gula aren asli, melainkan gula buatan yang terlalu mencolok. Aroma pandan yang selalu memberi rasa hangat itu? Tidak ada. Lagi-lagi, kekecewaan menyelip di dadanya.