Mohon tunggu...
Heldo Aura
Heldo Aura Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik dan Pemerintahan Adat Kurai

15 Januari 2018   10:37 Diperbarui: 15 Januari 2018   11:07 1898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertama, "kato mandaki" (kata mendaki) merupakan sebuah ungkapan pendidikan bagaimana cara berbicara dan bersikap kepada orang yang lebih tua dari kita. 

Kato mandaki merupakan sikap yang kita tunjukan kepada orang yang lebih tua seperti kalau berbicara tidak membentak/kasar, mendengarkan nasehatnya, tidak membantah pembicaraan atau pengajarannya. Ungkapan kata mendaki ini adalah cara pergaulan kepada orang yang lebih tua seperti anak kepada orang tuanya, kemanakan kepada mamak, murid kepada guru dan adik kepada kakak. Kedua, "kato manurun" (kata menurun) ungkapan yang menggambarkan bagaimana cara bersikap, berbicara seseorang dengan yang lebih muda dengannya. 

Diartikan juga dengan tindakan mengayomi, menyayangi yang lebih kecil dari kita. Ungkapan ini digunakan oleh orang tua kepada anak, guru kepada murid, mamak kepada kemanakan dll. Ketiga, "kato mandata" (kata mendatar) kato mandata ialah ungkapan sikap berbuatan atau tindakan, cara berbicara kepada yang sama besar dengan kita. 

Ungkapan ini digunakan oleh teman sepermainan. Saling menghormati dan menghargai sebaya dengan kita. Keempat, "kato malereng" ungkapan sikap tindakan dan cara berbicara dengan orang yang kita segani, hormati. Ungkapan ini ditujukan dalam pergaulan sehari hari antara mando jo sumando, ipa jo bisan, ransanak handai taulan. 

Ungkapan kato nan ampek atau biasa juga disebut dengan jalan nan Ampek sudah menjadi ciri khas pergaulan masyarakat Kurai (Secara garis besar masyarakat Minangkabau) dari nenek moyang sampai pada saat sekarang ini.

 Orang Minang yang salah berperilaku atau menempatkan posisinya disebut dengan indak tau jo nan ampek atau urang indak baradaik. Pergaulan sehari hari orang Minangkabau dapat digambarkan dengan ungkapan adat: nan tuo di hormati nan ketek di sayangi samo gadang baok baiyo (Kompasiana, 2016).

Minangkabau khsususnya adat Kurai tidak saja unik dengan garis keturunannya, tetapi juga unik pada sistem kepemimpinannya dalam konsep tungku nan tigo sajarangan tali nan tigo sapilin, yang terdiri dari tiga unsur yaitu niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai yang menjadi contoh tauladan dan merupakan tokoh masyarakat yang paling berpengaruh. 

Ketiga unsur tokoh masyarakat tersebut menjadi simbol kepemimpinan yang memberi warna dan mempengaruhi perkembangan masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Kurai. 

Keberadaan tiga pemimpin informal tersebut terlembaga dalam idiom adat yaitu Tungku nan tigo sajarangan (belanga yang tiga sekali masak), tali nan tigo sapilin (tali yang tiga seikatan), nan tinggi tampak jauah (yang tinggi tampak jauh), tabarumbun tampak hampia (tersembunyi tampak hampir). Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada.

tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri khususnya adat Kurai yang dituntun oleh akhlak, sesuai bimbingan ajaran Islam, dalam adagium "Adat basandi Syara' ", dan "syara' mamutuih, Adat memakai.

Pertama, kepemimpinan ninik mamak, atau yang lebih dikenal dengan nama penghulu/pangulu adalah pemimpin adat (fungsional adat) di Minangkabau khususnya adat Kurai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun