BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kajian PustakaÂ
Transparansi Pelaporan Keuangan Bank Syariah
 Perusahaan dalam mencapai keuanggulan kompetitif yang dapat menciptakan nilai tambah dengan menyediakan informasi berkualitas yang diolah dengan baik, sehingga dapat menghasilkan keputusan yang tepat (Kurniawan & Nensih, 2022). Oleh karena itu laporan keuangan merupakan aspek penting dalam mencapai keunggulan dan kompetitif perbankan syariah yang menentukan nilai transparansi dan operasional bank syariah.Â
Menurut Adnan (2024) kejelasan laporan keuangan dapat mempermudah para pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan yang lebih baik dalam investasi maupun pembiayaan dan regulasi yang akan dilakukan dimasa depan. Sedangkan Hasibuan (2023) berpendapat bahwa laporan keuangan yang transparan dapat menggambarkan Tingkat akuntabilitas bank syariah terhadap masyarkat, para nasabah dan pemangku kepentingan lainnya. Sehingga dalam hal ini laporan keuangan merupakan sarana utama bagi seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat untuk mengetahui bahwa bank syariah melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan jujur, adil, dan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berlaku.
Pentingnya transparansi pelaporan keuangan pada bank syariah menjadi tolak ukur dalam menilai kinerja bank syariah termasuk keberlanjutan operasional dan kepatuhan dalam pelaksanaannya terhadap prinsip-prinsip syariah. Hal ini menunjukan integritas bank syariah dalam menjaga keberlanjutan system perbankan agar selaras dan mampu mengimbangi perkembangan bank secara global.
 Definisi TransparansiÂ
Inspektorat Jenderal Kementrian Perindustrian (2022) mendefinisikan transparansi sebagai keterbukaan informasi yang dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat umum. Sedangkan Herliana mendefinisikan transparansi sebagai sikap individu maupun organisasi dalam memperoleh informasi yang adil terutama dalam memahami hak-hak dan kerahasiaan perusahaan sebagai salah satu unsur dalam pertimbangan bekerjasama (Yona Andreani & Laylan Syafina, 2022).
Selain itu, elemen penting dalam Good Coorporate Governance (GCG) adalah transparansi laporan keuangan dengan tujuan memenuhi kebutuhan akuntabilitas terutama bagi bank syariah dalam menyajikan informasi laporan keuangan untuk para nasabah, pemegang saham, serta segenap pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Informasi yang relevan, andal dan tepat waktu dalam pelaporannya kepada pengguna laporan merupakan aspek penting dalam transparansi pelaporan keuangan sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang objektif dan rasional (Hussain et al., 2020).Â
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang didalamnya mengatur tatakelola perbankan syariah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (1) bahwa setiap Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menerapkan tatakelola  yang baik mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, professional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usaha. Selain itu dijelaskan juga dalam Pasal 38 ayat (1) bahwa perlindungan nasabah dapat dilakukan dengan meningkatkan transparansi terutama dalam pelaporan produk pembiayaan (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA, t.t.).Â
Transparansi pelaporan keuangan yang dilakukan bank syariah tidak hanya untuk mematuhi setiap regulasi dan landasan hukum seperti yang tercantum dalam Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAK Syariah) yang telah ditetapkan oleh Desan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK-IAI) namun semata-mata juga untuk menunjukan prinsip-prinsip syariah yang menjadi landasan utama dalam setiap kegiatan operasional perbankan syariah. Dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam meningkatkan transparansi pelaporan keuangan bank syariah membuat peraturan melalui POJK Nomor 13/PJOK.03/2021 terkait penerapan tatakelola bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam kesesuaian standar dan keterbukaan pelaporan keuangan perbankan syariah. Transparansi pelaporan keuangan menjadi komitmen utama bank syariah dalam menjaga akuntabilitas dan kejujuran yang menjadi penunjang timbulnya kepercayaan dari masyarakat (Otoritas Jasa Keuangan, 2021, t.t.).Â
 Definisi Laporan KeuanganÂ
H. La Midjan dan Azhar Susanto mengutip dari J.W Neureur menjelaskan bahwa sesiap sistem yang berkaitan dengan akuntansi merupakan suatu perkumpulan dari formular, catatan dan laporan yang dikoordinir sehingga menciptakan dasar informasi yang dibutuhkan dalam menjalankan dan membantu manajemen perusahaan. (Feriyanto & Hadian. 2024.) Oleh karena itu, dalam menjalankan kegiatan berbasis sistem akuntansi, suatu entitas atau perusahaan secara berkala harus menyusun laporan keuangan (financial statement) yang bertujuan untuk menyediakan data dan informasi yang relevan bagi para pemangku kepentingan.Â
Raymond Budiman (2021) mendefinisikan laporan keuangan sebagai dokumen yang mencerminkan kondisi keuangan serta kinerja suatu perusahaan dalam periode tertentu. Sedangkan menurut Werner R. Murhadi (2019) mengemukakan bahwa laporan keuangan dapat dipandang sebagai bentuk bahasa bisnis. Laporan ini menyediakan data yang telah diolah bagi pengguna untuk memahami kondisi keuangan perusahaan. Dengan memahami laporan keuangan, para pemangku kepentingan dapat memperoleh wawasan tentang posisi keuangan perusahaan. (Arya Wibisono, 2022.)
Laporan keuangan merupakan dokumen yang merepresentasikan berbagai peristiwa keuangan yang terjadi dalam suatu perusahaan. Laporan ini menjadi instrumen penting dalam menyediakan informasi mengenai posisi keuangan serta kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan selama periode tertentu. Penyusunan laporan keuangan mencakup berbagai jenis laporan yang memiliki fungsi dan format yang beragam, namun tetap saling berkaitan satu sama lain. Secara umum, laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai dokumen yang mencatat aktivitas transaksi dalam suatu entitas, baik itu perusahaan, organisasi, maupun instansi lainnya. Dalam laporan keuangan, terdapat beberapa aspek yang perlu dipahami, seperti tujuan penyusunan, jenis-jenis laporan, komponen utama, serta pihak-pihak yang berkepentingan terhadap informasi yang disajikan (Rani Rahman, 2021.).
 Definisi Bank Syariah
Istilah bank syariah terdiri dari dua kaya yaitu "bank" yang merupakan lembaga keuangan yang bertugas menjadi perantara antara bank sebagai pihak yang memiliki surplus dana dan nasabah sebagai pihak yang membutuhkan dana. Sedangkan "syariah" yang merupakan hukum islam yang dalam kontekstual perbankan syariah berarti hukum islam yang menjadi landasan aturan-aturan dalam perbankan syariah dalam perjanjian antara bank dan nasabah atau pihak lain yang terkait dalam menghimpun dana, pembiayaan usaha, dan kegiatan jasa keuangan lainnya (Nurul Inayah, 2020.).Â
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun tahun 2008 tentang Bank Syariah, mendefinisikan bank syariah sebagai bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah islam. Prinsip syariah yang menjadi landasan hukum islam dalam kegiatan perbankan mengacu pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Bank Syariah  adalah lembaga keuangan yang berpegang pada prinsip-prinsip syraiah islam dalam menjalankan setiap kegiatan usahanya. Prinsip-prinsip tersebut berupa larangan riba, ghahar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi) dengan menekankan keadilan dalam setiap transaksi (Mufid Murtadha dkk., 2024.).
 Prinsip Bank Syariah
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan dalam Bab I Pasal 1 Ayat (13) mendefinisikan prinsip syariah sebagai aturan yang berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain. Prinsip ini terdiri dari penghimpunan dana dan pembiayaan kegiatan usaha atau aktivitas lain yang dinyatakan sesuai dengan syariah yang meliputi mudharabah (pembiayaan dengan prinsip bagi hasil), musyarakah (pembiayaan dengan prinsip modal), murabahah (pembiayaan dengan prinsip jual beli dan memperoleh keuntungan), ijarah (pembiayaan barang modal dengan prinsip sewa murni), dan/atau ijarah wa itiqna (pembiayaan sewa menyewa dengan perjanjian pemindahan kepemilikan barang kepada penyewa pasca masa sewa berakhir) (Priska Trias Agustin, 2018.).
Mufid Murthada (2024) mendefinisikan prinsip-prinstip bank syariah berupa larangan riba, ghahar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi) dengan menekankan keadilan dalam setiap transaksi. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan ajaran Islam, yang bertujuan untuk menciptakan sistem keuangan yang adil, transparan, dan sesuai dengan nilai-nilai etika Islam. Prinsip-prinsip utama dalam operasional bank syariah meliputi:
Larangan Riba (Bunga). Salah satu prinsip fundamental bank syariah adalah pelarangan riba, yang didefinisikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi keuangan tanpa adanya pertukaran barang atau jasa yang setara. Dalam Islam, riba dianggap sebagai tindakan yang tidak adil dan eksploitasi ekonomi. Sebagai pengganti bunga, bank syariah menerapkan sistem bagi hasil, di mana keuntungan dan kerugian dibagi antara bank dan nasabah berdasarkan kesepakatan awal.
Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing). Bank syariah menggunakan mekanisme bagi hasil dalam produk pembiayaan seperti mudharabah (kemitraan usaha) dan musharakah (penyertaan modal). Dalam mekanisme ini, nasabah dan bank berbagi risiko serta keuntungan usaha secara adil, sesuai dengan kontribusi masing-masing.
Prinsip Jual Beli (Murabahah). Bank syariah menawarkan produk jual beli dengan margin keuntungan yang telah disepakati di awal. Dalam transaksi ini, bank membeli barang atas permintaan nasabah dan menjualnya kembali dengan harga yang mencakup margin keuntungan. Lokasi ini memastikan transparansi dalam pagar dan menghindari bunga.
Prinsip Sewa (Ijarah). Ijarah adalah prinsip sewa yang digunakan dalam pembiayaan aset atau barang modal. Bank syariah menyewakan barang kepada nasabah dengan biaya sewa yang disepakati, yang dalam beberapa kasus dapat diakhiri dengan opsi kepemilikan (ijarah wa iqtina).
Prinsip Kesepakatan Berdasarkan Syariah. Semua transaksi yang dilakukan oleh bank syariah harus sesuai dengan hukum Islam, yang ditetapkan oleh dewan syariah. Dewan ini memastikan bahwa seluruh produk dan layanan bank bebas dari unsur yang dilarang seperti gharar (ketidakpastian), maysir (perjudian), dan transaksi yang tidak etis.
Keutamaan Etika dan Keadilan. Bank syariah menekankan keadilan, keseimbangan sosial, dan keinginan ekonomi dalam setiap transaksi. Hal ini bertujuan untuk menciptakan manfaat yang luas bagi masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi yang merata.
Dalam ekonomi syariah, riba atau bunga dipandang sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam yang fokus pada keadilan, intervensi ketidakadilan ekonomi, dan penghindaran eksploitasi. Riba diartikan sebagai peningkatan nilai uang dalam suatu transaksi tanpa adanya pertukaran yang setara dengan berupa barang atau jasa, sehingga secara tegas dilarang dalam ajaran Islam. Sebaliknya, dalam ekonomi konvensional, bunga merupakan komponen umum dan menjadi salah satu elemen utama dalam transaksi keuangan dan perbankan (Nugraha dkk., 2023.).
 Landasan Hukum Bank Syariah
 Otoritas jasa Keuangan (OJK) menjelaskan peraturan khusus yang mengatur perbankan syariah terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang berlaku sejak 16 Juli 2008 dan merupakan landasan hukum yang mengatur opersinal setiap bank syariah di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur berbagai ketentuan umum mengenai definisi perbankan syariah; asas,  tujuan serta fungsi perbankan syariah; perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan pebankan syariah; jenis dan kegiatan usah perbankan syariah; pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing; tata kelola, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko perbankan syariah; rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; penyelesaian sengketa; sanksi administratif; ketentuan pidana; serta ketentuan peralihan pada perbankan syariah.
 Sedangkan menurut Antara Kantor Berita Indonesia (2024) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mengalami pergantian undang-undang baru dan tetap mempertahankan perkembangan regulasi  perbankan syariah agar terus belangsung. Meskipun demikian, OJK telah menerbitkan tiga pendoman produk perbankan syariah yang telah disusun oleh DSN-MUI, pelaku industri perbankan syariah dan pemangku kepentingan lainnya dengan tujuan mendorong penguatan karakteristik perbankan syariah. Ketiga pedoman perbankan syariah yang diterbitkan OJK diantaranya:
Pedoman Produk Pembiayaan Mudarabah merupakan pedoman yang berisikan ketentuan pembiayaan mudarabah secara umum. Pembiayaan murabahah memiliki karakteristik unik yang terverifikasi sebagai produk pembiayaan bagi hasil bagi industri perbankan syariah selain musyarakah yang memiliki konsep keadilan bagi bank dan nasabah.Â
Pedoman Implementasi Shariah Restricted Investment Account (SRIA) dengan Akad Mudharabah Muqayyadah merupakan pedoman yang menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang membedakan produk investasi dengan produk simpanan pada perbankan syariah.Â
Pedoman Implementasi Cash Waqf Linked Deposit (CWLD) merupakan salah satu produk yang dikembangkan OJK dengan menerapkan karakteristik yang tidak dapat diimplementasikan oleh bank konvesional berupa integritas antara fungsi komersial dan fungsi sosial bank syariah secara bersamaan (creating shared value). CWLD merupakan produk wakaf uang temporer pada perbankan syarian dengan melibatkan Nazhir Wakaf Uang dan Bank Syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) yang berperan dalam penyusunan program wakaf yang bertujuan meningkatkan potensi perwakafan dan kinerja perbankan syariah. Laporan program CWLD mencakup Laporan Penerbitan Program CWLD dan Laporan Realisasi Program CWLD.
 Tujuan Bank Syariah
Bank syariah di Indonesia didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Berdirinya bank syariah di Indonesia tidak luput dari tujuan pendiriannya sebagaimana dijelaskan dalam UU RI Nomor 21 tahun 2008 Pasal 3 menyatakan bahwa perbankan syariah bertujuan dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam meningkatakan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.Â
Dr. Basaria Nainggolan, M.Ag dalam bukunya yang berjudul Perbankan Syariah Di Indonesia (2016) tujuan didirikannya perbankan syariah dalam hukum ekonomi islam berdasarkan teori maslahat adalah menciptakan transaksi halal sebagai upaya menyelamatkan masyarakat dari sistem yang berpotensi merusak aspek kehidupan baik itu jiwa, akal, agama, harta maupun keturunan. Ketika transaksi dilakukan menggunakan proses yang tidak sesuai dengan hukum syariah bisa berdampak kerusakan dan membahayakan integritas spiritual, moral dan material manusia.
 Produk Bank Syariah
Beberapa produk perbankan syariah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diantaranya mudarabah (bagi hasil), musyarakah (penyertaan modal/ partnership), murabahah (jual beli dengan margin), ijarah (sewa), dan ijarah wa iqtina (sewa dengan opsi kepemilikan). Sedangkan dalam Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah cakupan produk bank syariah diperluas seperti wadi'ah (titipan), salam (jual beli dengan penyerahan barang di masa depan), istishna' (jual beli dengan pesanan pembuatan), qardh (pembiayaan tanpa ketidakseimbangan), ijarah muntahiya bittamlik (sewa yang berakhir dengan kepemilikan), kafalah (jaminan), hawalah (pemindahan utang), letter of credit syariah, serta produk bank garansi berbasis syariah. Selain itu, terdapat pula transaksi lainnya, seperti rahn (gadai syariah), sharf (transaksi valuta asing), wakalah (perwakilan), serta kartu berbasis syariah seperti kartu kredit, kartu debit, kartu ATM, dan charge card.Â
Selain produk-produk tersebut, menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. (2018) terdapat juga variasi lainnya, seperti bai' al-dayn (jual beli utang), al-ijarah thumma al-bai' (leasing yang diikuti dengan pembelian), bai' bithaman ajil (jual beli dengan pembayaran tertunda) , bai' al-istijrar (kontrak pasokan barang), ujrah (biaya atau ketidakseimbangan jasa), dan hibah (hadiah). Setiap produk perbankan syariah ini memiliki karakteristik dan pengaturan tersendiri sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Penerapan PSAK 102 tentang Pembiayaan Murabahah
Penerapan menurut KBBI VI Daring berasal dari induk kata terap yang ditambah imbuhan gabungan dengan awalan "pen-" dan akhiran "-an" yang berarti proses, cara, atau perbuatan yang menerapkan pada suatu objek tertentu. Penerapan adalah proses, pelaksanaan yang mencakup cara, Tindakan, dan aktivitas yang terencana dengan tujuan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Selain itu penerapan juga dapat diartikan sebagai suatu Tindakan atau prosesdur yang dilakukan dalam suatu sistem dengan pendekata sistematis yang tidak hanya berfokus pada sebuah aktifitas melaikan berupa rangkaian Tindakan yang direncanakan secara matang dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh berdasarkan norma dan pedoman tertentu untuk memastikan tercapainya tujuan tersebut (Dai & Lin, 2020).
Wahab (2018) mendifinisikan penerapan sebagai sebuah kegiatan yang berfokus pada tiga unsur penting berupa program yang akan dilaksanakan, kelompok target yang merupakan sasaran dengan tujuan akan mendapat manfaat dari program tersebut, dan pelaksana yang merupakan suatu organisasi atau individu yang bertanggung jawab dalam proses pengelolaan, pelaksanaan maupun pengawasan dalam penerapannya.
Berdasarkan beberapa definisi penerapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan merupakan suatu proses yang mencakup suatu program terencana secara matang dengan tujuan yang jelas berupa perolehan manfaat dari penerapan pogram tersebut dengan tetap bedasarkan pada norma dan pedoman dalam memastikan bahwa tujuan tersebut tercapai.
Oleh karena itu, penerapan PSAK 102 tentang Pembiayaan Murabahah pada perbankan syariah merupakan program yang unsur utamanya yaitu Murabahah yang bertujuan menyajikan informasi dan transparansi setiap transaksi maupun pelaporannya secara internal maupun eksternal sehingga dapat diperoleh transparansi pelaporan keuangan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam PSAK 102 tentang Pembiayaan Murabahah.
 PSAK 102 tentang Pembiayaan MurabahahÂ
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK IAI) mengeluarkan PSAK 102 tentang Pembiayaan Murabahah pada 27 Juni 2007 untuk menggantikan PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang dikeluarkan pada 1 Mei 2002 sebagai aturan mengenai akuntansi murabahah. Segala bentuk produk akuntansi syariah yang dikeluarkan DSAK IAI kewenangannya akan dialihkan kepada Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) IAI. Namun pasca pengesahan di tahun 2007 PSAK 102 mengalami perubahan.Â
Pada 13 November 2013, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menerbitkan Fatwa Nomor 84/DSN-MUI/XII/2012 yang mengatur metode pengakuan keuntungan dalam transaksi tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) pada lembaga keuangan syariah. Â Selanjutnya, pada 6 Januari 2016, dilakukan penyesuaian terkait definisi nilai wajar yang selaras dengan ketentuan PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar. Perubahan ini mulai diberlakukan secara efektif sejak 1 Januari 2017 dengan penerapan secara retrospektif.
Ikhtisar PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian serta pengungkapan transaksi murabahah. PSAK 102 diterapkan pada lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang terlibat dalam transaksi murabahah baik sebagai penjual maupu pembelin dan pihak-pihak yang melakukan transaksi murabahah dengan lembaga keuangan syariah atau koperasi syariah. Akuntansi atau pembiayaan murabahah untuk penjual akan dicatat Ketika asset murabahah diperoleh, asset tersebut diakui sebagai persediaan berdasarkan biaya perolehah. Sedangkan akuntansi atau pembiayaan murabahah untuk pembelian akhir asset yang diperoleh melalui transaksi murabahah dicatat sebesar baiya perolehan murabahahn dengan selisih antara harga beli yang telah disepakati dengan biaya perolehah dicatat sebagai beban murabahah tangguhan. Penyajian penagihan murabahah dilakukakan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan yaitu saldo penagihan murabahah setelah dikurangi penyisihan kerugian penagihan. Margin murbahah tangguhan dicatat sebagai pengurang (contra account) piutang murabahah dan beban murabahah tangguhan dicatat sebagai pengurang (contra account) utang murabahah (Eksposur dkk., 2019).
PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah mengatur berbagai aspek akuntansi terkait transaksi murabahah, termasuk pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi adalah sebagai berikut:
Aset murabahah diakui sebagai persediaan berdasarkan biaya perolehan pada saat perolehannya.Â
Pengukuran aset setelah perolehan dilakukan berdasarkan jenis murabahah: (a) jika murabahah pesanan mengikat, aset dinilai sebesar biaya perolehan, dan penurunan nilai akibat usang atau kerusakan sebelum diserahkan ke nasabah diakui sebagai beban; (b) jika murabahah tanpa pesanan atau pesanan tidak mengikat, aset dinilai sebesar biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasikan, mana yang lebih rendah, dan selisihnya diakui sebagai kerugian jika nilai bersih lebih rendah. Â
Diskon pembelian aset murabahah diakui berdasarkan waktu dan perjanjian, meliputi: (a) pengurangan biaya perolehan jika terjadi sebelum akad, (b) pengembalian kepada nasabah jika terjadi setelah akad sesuai kesepakatan, (c) tambahan keuntungan murabahah jika menjadi hak lembaga keuangan syariah, atau (d) pendapatan operasional lain jika tidak diperjanjikan.Â
Kewajiban pengembalian diskon pembelian kepada pembeli dihapuskan ketika pembayaran dilakukan atau dana dipindahkan menjadi dana kebajikan jika pembeli tidak dapat dijangkau. Â
Potongan angsuran murabahah diakui sebagai pengurang keuntungan jika disebabkan pembayaran tepat waktu oleh pembeli, atau sebagai beban jika disebabkan penurunan kemampuan pembayaran.Â
Keuntungan murabahah diakui: (a) pada saat akad untuk pembayaran tunai atau tangguh dalam satu periode laporan keuangan, atau (b) secara proporsional selama periode akad jika melebihi satu periode laporan.Â
Denda atas kelalaian pembeli dalam memenuhi kewajiban diakui sebagai dana kebajikan. Â
Piutang murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang.Â
Marjin murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang (contra account) piutang murabahah, dan kesepuluh, beban murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang utang murabahah. Â
Pengungkapan dilakukan oleh penjual dan pembeli, mencakup informasi seperti harga perolehan aset, kewajiban janji pemesanan, nilai tunai aset yang diperoleh, jangka waktu murabahah tangguh, dan informasi lain yang sesuai dengan PSAK 102. Hal ini bertujuan untuk memastikan transparansi dan relevansi informasi keuangan dalam transaksi murabahah (Merry Damayanti, 2024).
 Definisi Murabahah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mendefinisikan murabahah sebagai suatu akad pembiayaan barang dimana harga beli barang dinyatakan secara jelas kepada pembeli yang kemudian membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai keuntungan sesuai dengan yang telah disepakati. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa murabahah sebagai transaksi jual beli namun masih belum menggambarkan kompleksitasnya sepagai produk pembiayaan oleh lembaga keuangan.Â
Namun menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. (2018), dalam praktiknya sekarang ini murabahah melibatkan dua perjanjian terpisah dengan tiga pihak berbeda yaitu bank, pemasok barang, dan nasabah. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. juga menjelaskan perbandingan definisi Murabahah dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dengan Meezan Bank's Guide to Islamic Banking karya Usmani yang menekankan adanya hubungan hukum antara bank dengan pemasok barang dimana bank membeli barang tersebut dari pemasok, serta hubungan antara bank dengan nasabah dimana nasabah membeli barang tersebut dari bank. Definisi tersebut lebih mencerminkan realitas transaksi pembiayaan murabahah yang dilakukan dalam sistem perbankan syariah yang melibatkan tahapan serta berbagai pihak yang berbeda sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Menurut Sarmigi dkk dalam bukunya "Analisis Laporan Keuangan Perbankan Syariah" (2022) menjelaskan kata murabahah berasal dari istilah bahasa arab ribh (ar-ribhu) yang bermakna keuntungan, kelebihan, atau tambahan. Dalam konteks pembiayaan, murabahah merujuk pada transaksi jual beli suatu barang dengan harga yang terdiri dari nilai perolehan barang ditambah margin keuntungan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam transaksi ini, penjual terlebih dahulu menyampaikan informasi mengenai harga perolehan barang kepada pembeli. Pada praktiknya, bank syariah bertindak sebagai penjual, sedangkan nasabah berperan sebagai pembeli. Barang diserahkan langsung, sementara pembayaran dilakukan secara tangguh atau bertahap sesuai dengan kesepakatan.
Menelaah dari definisi-definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa murabahah merupakan transaksi jual beli dengan bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dimana dalam proses transaksi bank menyampaikan informasi harga perolehan barang kepada nasabah dan menabahkan margin atau keuntungan sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak dengan pembayaran dilakukan secara mencicil atau angsuran dalam jangka waktu yang telah disepakati.
 Landasan Hukum Murabahah
Al-Qur'an dan Hadist merupakan landasan utama yang memperkuat bahwa praktek jual beli dengan sistem jatuh tempo diperbolehkan dalam islam. Maka dari itu, hal ini berlaku juga pada pembiayaan murabahah dengan menggunakan mekanisme pelunasannya dilakukan secara bertahap atau dalam jangka waktu tertentu. Dalam pembiayaan murabahah, nasabah diberikan kelonggaran waktu untuk menyelesaikan kewajibannya atas pembayaran harga komoditas sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Selain Al-Qur'an dan Hadist menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. (2018) terdapat juga landasan hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang memperkuat akuntansi pembiayaan murabahah diantaranya:
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Fatwa DSN-MUI No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Mukadalam Murabahah.
Fatwa DSN-MUI No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah.
Fatwa DSN-MUI No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah.
Fatwa DSN-MUI No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar.
Fatwa DSN-MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah.
Fatwa DSN-MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.
Â
Â
 Rukun dan Syarat Murabahah
Menurut Ascarya, rukun dalam akad murabahah terdiri dari beberapa unsur penting diantaranya:
Adanya pihak-pihak yang terlibat dalam akad, yaitu penjual (ba'i) dan pembeli (musytari).Â
Objek akad, yang mencakup barang yang diperjualbelikan (mabi') dan harga barang (tsaman), yaitu harga awal barang ditambah dengan margin keuntungan.Â
Terdapat shighat, yang merupakan kesepakatan atau ijab dan qabul antara penjual dan pembeli.
Adapun syarat dalam pembiayaan murabahah meliputi beberapa hal diantaranya:
Pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli, harus memiliki kecakapan hukum, bersedia, dan tidak berada dalam kondisi terpaksa.Â
Objek yang diperjualbelikan harus memiliki nilai manfaat, tidak boleh ada cacat yang disembunyikan, bukan barang yang dilarang (haram), serta barang tersebut harus menjadi milik penuh pihak yang berakad, dengan penyampaian yang jelas dari penjual kepada pembeli.Â
Shighat (ijab dan qabul) harus dilakukan secara transparan, dengan penjelasan yang terbuka mengenai pihak yang terlibat, kondisi barang, serta harga yang disepakati, termasuk biaya yang disampaikan kepada pembeli (Nisak, Ika Khoirun. 2023).
Penelitian Terdahulu
Analisis dalam penerapan PSAK 102 tentang Pembiayaan Murabahah pada laporan keuangan perbankan syariah telah banyak dilakukan sebelumnya sehingga diperoleh berbagai macam hasil yang didapatkan. Terdapat beberapa acuan untuk penelitian terdahulu diantaranya sebagai berikut :
Â
Tabel 1.2
Penelitian Terdahulu
No
Penulis, tahun
terbit
Judul
Objek Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
1.
Ardiansyah, Hanna Septiani. 2022
Analisis penerapan PSAK 102 tentang pembiayaan murabahah di Bank BSI Asia Afrika Bandung
Analisis penerapan PSAK 102 di Bank BSI Asia Afrika Bandung
Penelitian ini menerapkan metode deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber utama, sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui literatur seperti jurnal ilmiah atau skripsi yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1) Mekanisme proses pembiayaan murabahah belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
2) Proses pencatatan akuntansi transaksi pembiayaan murabahah telah dilakukan dengan tepat sesuai standar, dan
3) Penerapan PSAK 102 dalam pembiayaan murabahah di Bank BSI Asia Afrika Bandung sudah sesuai dengan ketentuan PSAK 102. Namun, implementasi aturan PSAK 102 dalam mekanisme pembiayaan murabahah belum sepenuhnya optimal. Secara umum, pembiayaan murabahah dapat dilakukan dengan atau tanpa pesanan. Namun, di Bank BSI Asia Afrika, pembiayaan murabahah hanya diterapkan berdasarkan pesanan.
2.
Muhammad Said Albana, Amrie Firmansyah. 2021
Implementasi Akuntansi Murabahah Pada Pembiayaan BSM OTO Di Bank
Syariah Mandiri: Apakah Sesuai Dengan PSAK 102?
Implementasi akuntansi murabahah sesuai PSAK 102 di Bank Syariah Mandiri
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis isi dan wawancara. Analisis konten dilakukan dengan identifikasi laporan keuangan audited dan laporan tahunan Bank Syariah Mandiri tahun 2019 yang terkait transaksi murabahah, yang kemudian menjadi dasar penyusunan wawancara.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Bank Syariah Mandiri perlu memberikan penjelasan lebih rinci kepada nasabah terkait prinsip akad murabahah pada pembiayaan produk BSM OTO. Hal ini penting untuk mengatasi kesalahpahaman nasabah yang menganggap sistem angsuran masih menggunakan bunga. Bank juga disarankan untuk lebih memperkenalkan produk BSM OTO kepada masyarakat, menjaga transparansi, serta memastikan penyajian laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang ditetapkan oleh IAI.
3.
Milika Puspa Sari, Rika Damai Yanti, Risky Andriyansyah. 2024
Penerapan PSAK 102 Dalam Akuntansi Murabahah Terhadap Pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (Kpr) Pada Bank BCA Syariah Cabang Bandar Lampung
Penerapan PSAK 102 pada Bank BCA Syariah Cabang Bandar Lampung
Pendekatan ini menggunakan pendekatan Kuantitatif. Data kuantitatif adalah data dalam bentuk angka. Penulis menggambarkan permasalahan yang didasari pada data yang ada berupa angka-angka, kemudian di analisa lebih lanjut agar dapat diambil kesimpulan. Dan pada  pendekatan  penelitian  ini  menggunakan  jenis  penelitian Library  Research. Library Research merupakan pengumpulan data yang memberikan teori mengenai konse-konsep yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah, serta dengan mencari informasi dari artikel-artikel ilmiah dan buku-buku yang relevan dalam memperoleh data penelitian.
Secara  keseluruhan,  penerapan  PSAK  102  dalam  akuntansi  murabahah  untuk pembiayaan KPR pada Bank BCA Syariah Cabang Bandar Lampung telah menghasilkan informasi  keuangan  yang  transparan  dan  akuntabel.  Hal  ini  sejalan  dengan  prinsip-prinsip akuntansi syariah yang menekankan pada  keadilan dan transparansi.
4.
Muhammad Aksa. 2022
Panerepan PSAK 107 Akuntansi Ijazarah Pada Perbankan Syariah di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Perbankan syariah yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengambilan sampel dilakukan melalui metode nonprobability sampling dengan teknik sampling jenuh, yaitu seluruh populasi dijadikan sampel karena jumlahnya relatif kecil. Data dikumpulkan melalui dokumentasi dan studi pustaka, kemudian dianalisis dengan melihat kesesuaian laporan keuangan masing-masing bank terhadap ketentuan PSAK 107.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. Bank Syariah Indonesia Tbk telah menerapkan PSAK 107 dengan baik sesuai dengan ketentuan dan transaksi ijarah dicatat secara lengkap dalam laporan keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas, serta laporan rekonsiliasi pendapatan. Sementara itu, PT. Bank Aladin Syariah Tbk telah menyebutkan PSAK 107 sebagai dasar penyusunan laporan keuangan, namun tidak terdapat transaksi ijarah di dalamnya sehingga penerapan standar tersebut secara aktual tidak dapat disimpulkan. Adapun PT. Bank Panin Dubai Syariah Tbk dan PT. Bank BTPN Syariah Tbk belum mengangkat PSAK 107 sebagai dasar dalam laporan keuangannya, melainkan menggunakan PSAK 73 yang lebih umum mengatur sewa dan dianggap memiliki kesamaan orientasi dengan akad ijarah.
5.
Dwi Rahma Fita Hamida, Siti Afidatul Khotijah. 2022
Analisis Konsep Penerapan Murabahah Berdasarkan PSAK 102 pada Perbankan Syariah di Indonesia
Penerapan Murabahah Berdasarkan PSAK 102 pada Perbankan Syariah di Indonesia
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif . Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi dan studi pustaka, sedangkan validitas data diuji menggunakan metode triangulasi , yaitu dengan membandingkan berbagai sumber data dan informasi. Analisis data dilakukan dengan pendekatan induktif untuk memperoleh gambaran mendalam mengenai praktik murabahah berdasarkan ketentuan syariah dan standar akuntansi yang berlaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembiayaan murabahah pada perbankan syariah di Indonesia terbagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama sesuai dengan prinsip fiqh muamalah , di bank mana terlebih dahulu membeli barang atas namanya sebelum dijual kepada nasabah dengan margin keuntungan. Tipe kedua hampir serupa, tetapi terdapat transaksi kepemilikan langsung dari pemasok ke nasabah dengan pembayaran dari bank ke pemasok. Namun, hal ini belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah karena kepemilikannya belum sepenuhnya berada di tangan bank. Tipe ketiga adalah ketika bank memberikan kuasa (akad wakalah ) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang dibiayai, dan setelah itu bank menjual kembali barang tersebut kepada nasabah. Secara umum, penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun pembiayaan murabahah sudah dijalankan oleh perbankan syariah dan berlandaskan pada PSAK 102 serta fatwa DSN-MUI, masih terdapat penyimpangan dalam praktik yang memerlukan perhatian lebih lanjut untuk menjaga kesesuaian dengan prinsip syariah.
Â
Kerangka Pemikiran
Maisah (2023) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kerangka pemikiran menurut Sugiono dipahami sebagai suatu model yang dirancang untuk merumuskan konsep berdasarkan teori-teori yang memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor dalam penelitian. Di sisi lain, Sapto Haryoko mendefinisikan kerangka berpikir sebagai suatu struktur dalam penelitian yang menghubungkan dua variabel atau lebih. Oleh karena itu, kerangka berpikir mencakup kumpulan variabel yang akan dijelaskan serta dianalisis dalam pelaksanaan penelitian.
Penjelasan teori diatas menjadi dasar bagi penulis untuk menyajikan kerangka berpikir sebagai sebuah landasan dalam penulisan penelitian ilmiah yang dilakukan peneliti dengan judul "Analisis Penerapan PSAK 102 Tentang Pembiayaan Murabahah Dalam Transparansi Pelaporan Keuangan Bank Syariah Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2017-2024" yang sudah disusun sebagai berikut:
Â
Kerangka berpikir dalam penelitian ini mencakup unsur-unsur penting dari teori ilmiah. Salah satu unsur yang dimuat dalam kerangka ini adalah grand theory yang menjelaskan hubungan antara variabel penyebab dan variabel akibat. Teori utama yang digunakan adalah Teori Akuntansi, Teori Transparansi dan Akuntabilitas, serta Teori Kepatuhan terhadap Standar Akuntansi. Ketiga teori tersebut menjadi dasar dalam menjelaskan hubungan antara penerapan PSAK 102 sebagai variabel independen (penyebab) dan transparansi pelaporan keuangan sebagai variabel dependen (akibat).
Selain itu dalam penelitian ini dijelaskan prediksi hubungan antara kedua variabel tersebut, yaitu bahwa semakin tinggi tingkat penerapan PSAK 102 dalam pembiayaan murabahah oleh bank syariah, maka akan semakin tinggi pula tingkat transparansi dalam pelaporan keuangannya. Hal ini sejalan dengan asumsi teori yang menyatakan bahwa pelaporan keuangan yang transparan mencerminkan tingkat akuntabilitas yang baik.
Argumen teoritis yang jelas mengenai hubungan antara variabel X dan Y. PSAK 102 mengatur secara spesifik mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi murabahah. Dengan mengikuti ketentuan dalam PSAK 102, lembaga keuangan syariah akan menyajikan laporan keuangan yang lebih terbuka dan akurat, yang pada akhirnya akan meningkatkan transparansi. Dalam hal ini, transparansi merupakan cerminan dari kepatuhan terhadap prinsip akuntansi syariah dan tanggung jawab lembaga terhadap publik.
Dalam kerangka berpikir ini juga tergambar dengan jelas indikator yang digunakan untuk mengukur masing-masing variabel. Untuk variabel penerapan PSAK 102, indikatornya meliputi pengakuan transaksi, pengukuran margin, penyajian piutang dan utang murabahah, serta kelengkapan pengungkapan informasi keuangan. Sementara itu, untuk variabel transparansi pelaporan keuangan, indikatornya mencakup kejelasan informasi, keterbukaan terhadap publik, kesesuaian laporan dengan prinsip syariah, serta kemudahan pemahaman informasi oleh pemangku kepentingan. Dengan demikian, kerangka berpikir ini tidak hanya menjelaskan hubungan antarvariabel, tetapi juga memberikan arah yang jelas dalam operasionalisasi konsep dan pengujian hipotesis penelitian.
Rumusan Hipotesis
Menurut Sugiyono (2019) dalam penelitiannya yang berjudul Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D menjelaskan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana jawaban tersebut masih bersifat dugaan sementara karena masih harus dibuktikan kebenarannya melalui pengumpulan data empiris.
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan untuk menguji adanya pengaruh antara penerapan PSAK 102 tentang pembiayaan murabahah terhadap transparansi pelaporan keuangan bank syariah. PSAK 102 sebagai standar akuntansi syariah memberikan pedoman teknis terkait pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi murabahah yang diharapkan dapat meningkatkan keterbukaan informasi dalam laporan keuangan.Â
Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka rumusan hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: "Terdapat pengaruh yang signifikan antara penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 102 tentang pembiayaan murabahah terhadap tingkat transparansi pelaporan keuangan pada bank syariah yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode tahun 2017-2024."
 Hipotesis tersebut disusun berdasarkan asumsi teoritis bahwa implementasi standar akuntansi syariah yang sesuai, khususnya PSAK 102 yang mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi murabahah, dapat meningkatkan kualitas dan keterbukaan informasi keuangan yang disajikan oleh lembaga keuangan syariah kepada para pemangku kepentingan. Untuk menguji hipotesis ini, pendekatan penelitian yang digunakan bersifat kuantitatif, dengan teknik analisis statistik yang bertujuan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana variabel independen, yaitu penerapan PSAK 102, berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen, yaitu transparansi pelaporan keuangan, dalam konteks sistem pelaporan keuangan syariah yang akuntabel, transparan, dan sesuai prinsip hukum Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI