Masalahnya, mereka masih berkutat dengan hal mendasar. Sinyal internet sering putus nyambung. Kemampuan memakai aplikasi digital terbatas.
Memang sudah ada portal pendaftaran yang bisa diakses daring melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Tetapi prosesnya dirasa rumit, khususnya bagi pemula. Istilah teknisnya banyak. Klasifikasi produknya juga perlu dipahami.
Kalau pada kondisi ini kita menyodorkan sistem blockchain yang kompleks, manfaatnya kecil. Yang ada, mereka malah ketinggalan semakin jauh. Teknologi canggih berisiko menjadi tembok baru yang memisahkan mereka dari perlindungan hukum.
Ada satu soal besar lagi: kepercayaan. Pertanyaan seperti “untuk apa mendaftar?” masih sering terdengar.
Itu lahir dari pengalaman dan persepsi yang berkembang di masyarakat. Karya dibajak tanpa sanksi yang jelas. Laporan terasa lambat ditangani.
Penegakan hukum KI di Indonesia memang masih jadi pekerjaan rumah besar, sesuatu yang juga dibahas para ahli hukum melalui Hukumonline pada 2022.
Jadi, sebelum meminta orang percaya pada sistem baru, kepercayaan pada sistem yang sudah ada perlu dibangun dulu. Kalau yang lama saja belum meyakinkan, bagaimana mungkin yang baru langsung dipercaya?
Jalan keluarnya bukan langsung melompat ke teknologi. Mungkin kita perlu mundur satu langkah untuk membangun fondasi yang kuat. Caranya bisa jadi lebih sederhana, tetapi sering kali jauh lebih efektif.
Pertama, edukasi yang masif. Sasarannya masyarakat akar rumput. Temui para pelaku usaha secara langsung. Pakai bahasa yang mudah mereka cerna, bukan istilah hukum yang bikin kening berkerut.
Tunjukkan contoh nyata dari lingkungan mereka. Jelaskan manfaat melindungi karya dan merek, bukan hanya teorinya.
Kedua, permudah birokrasi. Ringkas alur pendaftaran. Kalau perlu, jalankan program jemput bola. Petugas mendatangi sentra UMKM, membantu proses di tempat, dengan biaya yang terjangkau.