Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Kekayaan Intelektual UMKM Perlu Blockchain atau Edukasi dulu?

12 September 2025   19:00 Diperbarui: 5 September 2025   13:26 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi brand atau merek. (Freepik.com/Zaozaa09 via Kompas.com)

Kekayaan intelektual (KI) sering jadi bahan obrolan. Katanya penting, dan memang begitu adanya. Terutama untuk kelangsungan usaha UMKM. 

Intinya sederhana: melindungi produk dari penjiplakan dan memastikan merek dagang tetap aman. Dari situ lahir banyak gagasan. 

Salah satunya dorongan memakai teknologi tingkat tinggi untuk menjaga KI. Contohnya yang sering disebut adalah blockchain.

Kedengarannya modern. Menggoda juga. Karena menjanjikan pencatatan yang aman, transparan, dan sulit dimanipulasi. 

Banyak orang lalu melirik ke luar negeri. Rusia, misalnya, mengembangkan IPChain yang dijelaskan WIPO pada 2019. Fungsinya sebagai platform digital untuk mengelola hak kekayaan intelektual

Di atas kertas, ini terlihat seperti jalan pintas yang manis. Seolah bisa menyelesaikan segalanya. 

Tapi pertanyaannya penting. Apakah ini langkah pertama yang tepat untuk Indonesia? Mungkin kita perlu menahan diri sebentar dan berpikir lebih jernih.

Realitas di lapangan sering tidak seindah proposal teknologi. Coba tengok pelaku usaha kecil. Banyak yang berdagang di pasar tradisional. Sebagian lagi berusaha di pelosok desa. 

Sebagian besar belum paham apa itu KI. Urusan pendaftaran merek pun masih asing. 

Fokus mereka satu: dagangan laku. Ini fakta yang tidak bisa disangkal. 

Pemerintah pun mengakui tantangan tersebut. Karena itu program sosialisasi terus dijalankan oleh DJKI Kemenkumham pada 2023 untuk meningkatkan pemahaman KI di kalangan UMKM.

Masalahnya, mereka masih berkutat dengan hal mendasar. Sinyal internet sering putus nyambung. Kemampuan memakai aplikasi digital terbatas. 

Memang sudah ada portal pendaftaran yang bisa diakses daring melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Tetapi prosesnya dirasa rumit, khususnya bagi pemula. Istilah teknisnya banyak. Klasifikasi produknya juga perlu dipahami. 

Kalau pada kondisi ini kita menyodorkan sistem blockchain yang kompleks, manfaatnya kecil. Yang ada, mereka malah ketinggalan semakin jauh. Teknologi canggih berisiko menjadi tembok baru yang memisahkan mereka dari perlindungan hukum.

Ada satu soal besar lagi: kepercayaan. Pertanyaan seperti “untuk apa mendaftar?” masih sering terdengar. 

Itu lahir dari pengalaman dan persepsi yang berkembang di masyarakat. Karya dibajak tanpa sanksi yang jelas. Laporan terasa lambat ditangani. 

Penegakan hukum KI di Indonesia memang masih jadi pekerjaan rumah besar, sesuatu yang juga dibahas para ahli hukum melalui Hukumonline pada 2022. 

Jadi, sebelum meminta orang percaya pada sistem baru, kepercayaan pada sistem yang sudah ada perlu dibangun dulu. Kalau yang lama saja belum meyakinkan, bagaimana mungkin yang baru langsung dipercaya?

Jalan keluarnya bukan langsung melompat ke teknologi. Mungkin kita perlu mundur satu langkah untuk membangun fondasi yang kuat. Caranya bisa jadi lebih sederhana, tetapi sering kali jauh lebih efektif.

Pertama, edukasi yang masif. Sasarannya masyarakat akar rumput. Temui para pelaku usaha secara langsung. Pakai bahasa yang mudah mereka cerna, bukan istilah hukum yang bikin kening berkerut. 

Tunjukkan contoh nyata dari lingkungan mereka. Jelaskan manfaat melindungi karya dan merek, bukan hanya teorinya.

Kedua, permudah birokrasi. Ringkas alur pendaftaran. Kalau perlu, jalankan program jemput bola. Petugas mendatangi sentra UMKM, membantu proses di tempat, dengan biaya yang terjangkau.

Ketiga, dan ini penentu, tegakkan hukum. Tegas sekaligus adil. Setiap laporan pelanggaran KI harus ditindak serius dan cepat. 

Sanksinya mesti memberi efek jera, agar meniru atau membajak tidak dianggap permainan kecil. Ketika pelaku usaha kecil melihat keadilan berjalan, kepercayaan akan tumbuh dengan sendirinya.

Membangun ekosistem perlindungan KI itu mirip membangun rumah. Fondasinya harus kokoh dulu. Setelah itu baru kita bicara atap yang megah. Edukasi adalah bagian dari fondasi. Kemudahan akses juga fondasi. Penegakan hukum menjadi tiang penyangga. 

Jangan sampai kita sibuk memikirkan atap, sementara fondasinya masih rapuh.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun