Paskibra atau Paskibraka? Sering Salah Kaprah
Dua singkatan, satu bendera. Tapi hanya satu yang menyentuh pusaka. Salah sebut, bisa jadi penghinaan halus bagi mereka yang berdiri di Istana, dengan keringat dan doa dari ujung negeri.
Pernahkah kamu berdiri di lapangan sekolah, dengarkan lagu kebangsaan berkumandang, sambil memandang bendera merah putih naik perlahan di ujung tiang? Di bawah sinar matahari pagi, sekelompok siswa berdiri tegak, seragam rapi, wajah penuh konsentrasi. Mereka adalah Paskibra. Tapi, apakah kamu tahu, tidak semua pasukan pengibar bendera disebut Paskibraka?
Ya, dua kata itu terdengar hampir sama. Bahkan sering dipakai silih berganti, seolah tak ada beda. Tapi justru di situlah letak kesalahpahaman yang halus, namun dalam. Karena di balik satu huruf tambahan, tersembunyi dua dunia yang berbeda: satu adalah jejak kaki di tanah sekolah, yang lain adalah langkah di halaman Istana.
Mari kita mulai dari suatu pagi di Yogyakarta, tahun 1946. Indonesia masih berjuang, udara kemerdekaan belum sepenuhnya stabil. Di halaman Gedung Agung, lima pemuda-pemudi terpilih diberi kehormatan mengibarkan bendera. Mereka bukan tentara, bukan pejabat, hanya anak muda yang dipercaya membawa simbol bangsa. Dari sanalah benih pertama pasukan pengibar bendera tumbuh. Tapi nama "Paskibraka" belum lahir.
Baru puluhan tahun kemudian, di tengah semangat membangun identitas nasional, seorang pria bernama Mayor (Laut) M. Husein Mutahar melihat peluang besar: bagaimana jika dari seluruh penjuru Nusantara, dipilih satu pasangan muda terbaik dari setiap provinsi, untuk bersatu mengibarkan bendera di hadapan Presiden? Ide ini bukan sekadar upacara, ini adalah pendidikan karakter dalam bentuk simbolik, sebuah ritual nasional yang menyatukan pulau-pulau dalam barisan yang rapi.
Lalu muncullah Paskibraka: Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Kata "Pusaka" di sini bukan hiasan. Ia menyentuh inti. Karena bendera yang mereka kibarkan bukan sembarang bendera: ia adalah duplikat dari bendera asli yang dikibarkan Bung Karno pada 17 Agustus 1945. Sakral. Tak terjamah oleh waktu, tapi tetap hidup dalam bentuknya yang dijaga dengan upacara yang sempurna.
Dan hanya Paskibraka yang diberi amanah itu.
Sementara itu, di ribuan sekolah di seluruh Indonesia, lahir pula gerakan yang terinspirasi: Paskibra: Pasukan Pengibar Bendera. Tidak mengibarkan bendera pusaka, tidak tampil di Istana, tidak melalui seleksi nasional. Tapi perannya tak kalah penting. Mereka adalah garda depan pembentukan karakter anak bangsa. Setiap Senin pagi, mereka berdiri di lapangan, menjadi teladan bagi teman-temannya. Disiplin, percaya diri, dan penuh rasa hormat.
Paskibra bukanlah "versi kecil" dari Paskibraka. Ia adalah saudara seperjuangan yang berjalan di jalan yang berbeda. Jika Paskibraka adalah puncak gunung yang terlihat dari jauh, maka Paskibra adalah akar-akar yang menyebar di bawah tanah: menopang, menyuburkan, memastikan bangsa ini tumbuh dari bawah.