Filosofi Kabut
Kabut selalu hadir di antara malam dan pagi. Ia muncul ketika udara dingin bertemu dengan kehangatan sinar yang baru lahir. Begitu pula keraguan: ia hadir di antara kegelapan ketidaktahuan dan cahaya pengetahuan.
Artinya, bila kita sedang berada dalam kabut keraguan, itu tanda bahwa cahaya sebenarnya sudah dekat. Keraguan hanyalah peralihan. Sama seperti fajar yang hampir tiba, meski matahari belum terlihat.
Di sinilah filosofi pentingnya: jangan menyerah ketika kabut datang. Karena justru itu tanda kita sedang bergerak menuju terang.
Cahaya Ilahi di Balik Kabut
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu bagaikan bintang yang berkilau, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi..." (QS. An-Nur: 35).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa cahaya bukanlah milik kita. Lentera yang kita nyalakan hanyalah pantulan kecil dari Cahaya-Nya yang tak pernah padam. Maka di tengah kabut keraguan, yang kita lakukan hanyalah menjaga lentera itu tetap menyala, sambil yakin bahwa di balik kabut, ada Matahari yang lebih besar menanti.
Keraguan hanyalah tirai. Dan cahaya Ilahi selalu menembus tirai itu, meski mata kita belum melihatnya.
Membumi, namun Menuju Langit
Menyalakan lentera tidak hanya perkara spiritual. Ia juga membumi.