Mohon tunggu...
Ahmad Husen
Ahmad Husen Mohon Tunggu... PENGGAGAS TRILOGI CAHAYA: Lentera Jiwa | Pelita Negeri | Cahaya Semesta

Penulis Trilogi Cahaya: Lentera Jiwa, Pelita Negeri, dan Cahaya Semesta. Menulis untuk menyalakan hati, membangun negeri, dan merajut harmoni semesta. Berbagi kisah, refleksi, dan gagasan yang menuntun jiwa menuju kedamaian yang tak tergoyahkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

TRILOGI CAHAYA: Menyalakan Lentera di Tengah Kabut Keraguan

22 Agustus 2025   16:17 Diperbarui: 22 Agustus 2025   16:17 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyalakan Lentera di Tengah Kabut Keraguan - Trilogi Cahaya By Ahmad Husen

Ada saat dalam perjalanan hidup ketika jalan terasa samar, tanda-tanda arah tak jelas, dan hati digelayuti keraguan. Bukan karena kita tidak tahu ke mana tujuan itu, melainkan karena kabut yang menutupi pandangan, menenggelamkan kepastian. Di sanalah manusia diuji: apakah ia berhenti, tersesat, atau justru menyalakan lentera kecil yang dibawanya sejak awal perjalanan.

Kabut keraguan seringkali lebih pekat daripada gelap malam. Malam memberi kita bintang untuk ditatap, rembulan untuk ditunggu. Tetapi kabut? Ia menutupi segalanya. Kita tidak bisa melihat jauh, hanya mampu menunduk ke tanah, memastikan setiap langkah tidak jatuh. Keraguan bekerja seperti kabut itu - menutup pandangan, menguji keyakinan, dan memaksa kita berjalan perlahan, hati-hati.

Namun justru di tengah kabut itulah, lentera jiwa menemukan maknanya. Cahaya kecil yang mungkin tampak tak berarti di kala terang, menjadi penuntun langkah di kala segala arah tampak kelabu.

Kabut Keraguan dalam Kehidupan

Setiap manusia pernah merasakan kabut keraguan:

  • Keraguan pada diri sendiri, ketika bertanya "Apakah aku mampu?"

  • Keraguan pada masa depan, ketika suara hati berbisik "Apa yang menantiku nanti?"

  • Keraguan pada keputusan, ketika kita berdiri di persimpangan tanpa tanda arah.

  • Bahkan keraguan pada Tuhan, saat doa yang kita panjatkan seakan menggantung tanpa jawaban.

Keraguan itu bukan musuh mutlak. Ia hadir sebagai guru yang halus. Ia mengajarkan kita rendah hati, sebab tanpa keraguan kita mungkin sombong dalam kepastian. Ia mengingatkan bahwa jalan menuju cahaya tak selalu lurus, kadang berliku, kabur, bahkan menyesakkan dada.

Bayangkan seorang petani yang menanam benih. Ia menabur biji ke tanah, menutupnya dengan harapan, lalu menunggu. Setiap hari ia menyiram, tetapi hari-hari pertama tidak tampak apa-apa. Kabut keraguan mulai datang: "Apakah benih ini akan tumbuh? Ataukah ia mati di dalam tanah?" Namun bila ia terus merawatnya, akhirnya tunas kecil menembus tanah. Di situlah keraguan sirna, digantikan keyakinan.

Begitulah hidup. Setiap doa, setiap usaha, setiap mimpi yang ditanam, harus melewati masa hening---masa kabut---sebelum tampak hasilnya.

Menyalakan Lentera

Lalu bagaimana agar kita tidak tersesat di tengah kabut? Jawabannya adalah: menyalakan lentera. Lentera di sini bukanlah benda fisik, melainkan cahaya batin.

Lentera itu bisa berupa:

  • Doa yang tak henti dipanjatkan. Seperti api kecil yang dijaga agar tak padam.

  • Zikir yang berulang-ulang, bagaikan nafas yang menguatkan jiwa.

  • Keyakinan pada janji Tuhan, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan.

  • Cinta yang murni, yang membuat langkah tetap hangat meski jalan dingin.

Lentera itu sederhana. Tidak menyinari seluruh lembah, tidak menghalau seluruh kabut, tapi cukup memberi cahaya satu-dua langkah ke depan. Dan kadang itu saja sudah cukup.

Bukankah kita sering berharap Tuhan menunjukkan seluruh peta hidup kita? Tetapi justru hikmahnya adalah: Ia hanya menyingkap sedikit demi sedikit. Agar kita belajar percaya, agar kita melangkah dengan iman, bukan dengan kepastian mutlak.

Filosofi Kabut

Kabut selalu hadir di antara malam dan pagi. Ia muncul ketika udara dingin bertemu dengan kehangatan sinar yang baru lahir. Begitu pula keraguan: ia hadir di antara kegelapan ketidaktahuan dan cahaya pengetahuan.

Artinya, bila kita sedang berada dalam kabut keraguan, itu tanda bahwa cahaya sebenarnya sudah dekat. Keraguan hanyalah peralihan. Sama seperti fajar yang hampir tiba, meski matahari belum terlihat.

Di sinilah filosofi pentingnya: jangan menyerah ketika kabut datang. Karena justru itu tanda kita sedang bergerak menuju terang.

Cahaya Ilahi di Balik Kabut

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

"Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu bagaikan bintang yang berkilau, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi..." (QS. An-Nur: 35).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa cahaya bukanlah milik kita. Lentera yang kita nyalakan hanyalah pantulan kecil dari Cahaya-Nya yang tak pernah padam. Maka di tengah kabut keraguan, yang kita lakukan hanyalah menjaga lentera itu tetap menyala, sambil yakin bahwa di balik kabut, ada Matahari yang lebih besar menanti.

Keraguan hanyalah tirai. Dan cahaya Ilahi selalu menembus tirai itu, meski mata kita belum melihatnya.

Membumi, namun Menuju Langit

Menyalakan lentera tidak hanya perkara spiritual. Ia juga membumi.

  • Seorang mahasiswa yang gelisah menghadapi skripsi menyalakan lentera dengan terus berusaha, bertanya, belajar, dan berdoa.

  • Seorang ibu yang ragu mampu mendidik anak-anaknya menyalakan lentera dengan kesabaran, pelukan, dan doa di sepertiga malam.

  • Seorang petani yang takut gagal panen menyalakan lentera dengan bekerja tekun, sambil percaya pada hujan yang akan turun.

  • Seorang pejuang kebenaran yang diragukan banyak orang menyalakan lentera dengan terus berkata jujur, meski dunia memanggilnya bodoh.

Lentera itu bukan sekadar cahaya menuju langit, tetapi juga api kecil yang menghangatkan bumi. Ia membumi dalam tindakan sederhana, namun cahaya maknanya menembus hingga ke langit ilahi.

Kisah: Sang Musafir dan Lentera

Konon, ada seorang musafir yang berjalan di lembah berkabut. Jalannya terjal, pandangannya terbatas. Ia membawa lentera kecil yang nyaris padam tertiup angin.

"Untuk apa lentera sekecil itu?" tanya seorang yang ditemuinya. "Kabut terlalu pekat, jalan terlalu jauh. Cahaya itu tidak akan cukup."

Sang musafir tersenyum. "Mungkin lentera ini tak mampu menyingkirkan kabut. Tapi ia cukup untuk menunjukkan langkahku berikutnya. Dan dengan satu langkah berikutnya, aku bisa terus berjalan sampai kabut ini hilang."

Akhirnya ia sampai di puncak, dan dari sana ia melihat matahari terbit. Kabut pun sirna. Lentera kecil yang dulu diragukan ternyata menjadi penyelamat.

Begitu pula hidup kita. Kadang orang lain meremehkan cahaya kecil dalam diri kita. Tetapi justru lentera itulah yang akan menyelamatkan di tengah kabut keraguan.

Refleksi: Menjadi Penjaga Cahaya

Di setiap zaman, manusia selalu berhadapan dengan kabutnya masing-masing: krisis kepercayaan, ketidakpastian ekonomi, ketakutan akan masa depan. Tetapi selalu ada mereka yang memilih menjadi penjaga cahaya---para pekerja cahaya, para penyalur harapan.

Mereka tidak selalu orang besar. Kadang hanya seorang guru desa, seorang ayah sederhana, seorang sahabat yang mau mendengar, seorang ibu yang berdoa tanpa suara. Tetapi lentera yang mereka nyalakan mampu menuntun banyak jiwa melewati kabut.

Mungkin kita tidak bisa menyingkirkan seluruh kabut di dunia. Tapi kita bisa menyalakan satu lentera. Dan satu lentera cukup untuk menguatkan satu langkah.

Penutup: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Hidup adalah perjalanan panjang. Ada saat terang, ada saat gelap, ada pula saat berkabut. Kita tidak selalu bisa memilih medan, tapi kita bisa memilih sikap.

Ketika kabut keraguan datang, jangan berhenti. Jangan menyerah. Jangan padamkan lentera yang kau bawa. Jagalah ia dengan doa, dengan cinta, dengan harapan.

Sebab lentera kecil itu, bila dijaga, akan membawamu melewati kabut, menuntunmu menuju fajar, hingga akhirnya kau berdiri di hadapan Matahari Cahaya Ilahi---tempat segala keraguan luruh, dan segala kepastian menemukan rumahnya.

"Menyalakan lentera di tengah kabut keraguan bukanlah tentang mengusir kabut, melainkan tentang menjaga cahaya tetap hidup sampai Sang Cahaya Sejati menyingkapkan jalan."

TAG: #TrilogiCahaya #LenteraJiwa #RenunganSpiritual #MotivasiHidup #InspirasiHidup #PencerahanJiwa #RenunganHarian #MotivasiDiri #Spiritualitas #JalanHidup #FilosofiKehidupan #CahayaIlahi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun