Bayangkan seorang petani yang menanam benih. Ia menabur biji ke tanah, menutupnya dengan harapan, lalu menunggu. Setiap hari ia menyiram, tetapi hari-hari pertama tidak tampak apa-apa. Kabut keraguan mulai datang: "Apakah benih ini akan tumbuh? Ataukah ia mati di dalam tanah?" Namun bila ia terus merawatnya, akhirnya tunas kecil menembus tanah. Di situlah keraguan sirna, digantikan keyakinan.
Begitulah hidup. Setiap doa, setiap usaha, setiap mimpi yang ditanam, harus melewati masa hening---masa kabut---sebelum tampak hasilnya.
Menyalakan Lentera
Lalu bagaimana agar kita tidak tersesat di tengah kabut? Jawabannya adalah: menyalakan lentera. Lentera di sini bukanlah benda fisik, melainkan cahaya batin.
Lentera itu bisa berupa:
Doa yang tak henti dipanjatkan. Seperti api kecil yang dijaga agar tak padam.
Zikir yang berulang-ulang, bagaikan nafas yang menguatkan jiwa.
Keyakinan pada janji Tuhan, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan.
Cinta yang murni, yang membuat langkah tetap hangat meski jalan dingin.
Lentera itu sederhana. Tidak menyinari seluruh lembah, tidak menghalau seluruh kabut, tapi cukup memberi cahaya satu-dua langkah ke depan. Dan kadang itu saja sudah cukup.
Bukankah kita sering berharap Tuhan menunjukkan seluruh peta hidup kita? Tetapi justru hikmahnya adalah: Ia hanya menyingkap sedikit demi sedikit. Agar kita belajar percaya, agar kita melangkah dengan iman, bukan dengan kepastian mutlak.