Seorang mahasiswa yang gelisah menghadapi skripsi menyalakan lentera dengan terus berusaha, bertanya, belajar, dan berdoa.
Seorang ibu yang ragu mampu mendidik anak-anaknya menyalakan lentera dengan kesabaran, pelukan, dan doa di sepertiga malam.
Seorang petani yang takut gagal panen menyalakan lentera dengan bekerja tekun, sambil percaya pada hujan yang akan turun.
Seorang pejuang kebenaran yang diragukan banyak orang menyalakan lentera dengan terus berkata jujur, meski dunia memanggilnya bodoh.
Lentera itu bukan sekadar cahaya menuju langit, tetapi juga api kecil yang menghangatkan bumi. Ia membumi dalam tindakan sederhana, namun cahaya maknanya menembus hingga ke langit ilahi.
Kisah: Sang Musafir dan Lentera
Konon, ada seorang musafir yang berjalan di lembah berkabut. Jalannya terjal, pandangannya terbatas. Ia membawa lentera kecil yang nyaris padam tertiup angin.
"Untuk apa lentera sekecil itu?" tanya seorang yang ditemuinya. "Kabut terlalu pekat, jalan terlalu jauh. Cahaya itu tidak akan cukup."
Sang musafir tersenyum. "Mungkin lentera ini tak mampu menyingkirkan kabut. Tapi ia cukup untuk menunjukkan langkahku berikutnya. Dan dengan satu langkah berikutnya, aku bisa terus berjalan sampai kabut ini hilang."
Akhirnya ia sampai di puncak, dan dari sana ia melihat matahari terbit. Kabut pun sirna. Lentera kecil yang dulu diragukan ternyata menjadi penyelamat.
Begitu pula hidup kita. Kadang orang lain meremehkan cahaya kecil dalam diri kita. Tetapi justru lentera itulah yang akan menyelamatkan di tengah kabut keraguan.