Kubiarkan bibirku terlepas dari bibirmu sesaat sehingga angin pantai langsung dan leluasa menyeret hela nafas kita. Aku merasa semua ini hanya mimpi, atau cerita fiksi yang belum sempat menjadi gagasan dalam seluruh waktu perenunganku.
“Faktakah ini?”
“Hantukah aku ini?” sahutmu disusul sekuntum senyum yang jauh lebih indah dari kuntum bunga seluruh dunia. Bibirmu yang barusan memabukkan, jauh lebih nikmat daripada anggur terbaik di seluruh dunia.
Aku ingin meyakinkan diriku sendiri, apakah kenyataan ini merupakan sebuah fakta ataukah justru fiksi yang sedang kutuliskan. Kutatap wajahmu dengan cara saksama dalam tempo sesingkat-singkatnya. Singkat sekali karena kamu mengagetkan aku dengan sebuah rangkulan di leherku.
Kedua lenganku bergerak ke arah pinggangmu dengan berpikir, apakah ini fakta ataukah fiksi belaka. Sementara pandanganku terpaku pada pukau matamu yang khas orientalis nan sarat daya magis.
Ya, daya magis masa usang dari sepasang mata yang menjadi idaman dalam pencarianku pada sepucuk cinta karena pergaulanku yang lama dengan kawan-kawan Tionghoa sejak pertama mengenal arti kata sekolah, buku, belajar, berkawan, dan cinta monyet. Apakah dulu sebenarnya adalah cikal-bakal takdirku untuk bisa merasakan keindahan oriental itu yang tidak kusadari? Entahlah.
Entahlah dengan semua yang usang. Di hadapanku adalah kamu, yang dengan tiba-tiba menyergapku pada pagar waktu usang dan sekarang. Bukan waktunya untuk bertanya seolah seorang wartawan kampus bertemu seorang narasumber yang tengah menjadi subyek berita nasional. Sekarang waktunya untuk meyakinkan diriku sendiri pada situasi semacam ini.
Dan, kali ini merupakan kesempatan pertamaku untuk memandangmu dalam jarak hanya 20 cm. Sebuah jarak yang sangat jelas-tegas untuk benar-benar bisa menikmati pesonamu dengan segenap ingatan dan perasaan. Degup dadaku, ah, entahlah. Debarnya hanya bisa disaingi oleh debur ombak yang menghantam karang granit di dekat pelukan aku dan kamu.
Kali ini adalah kenyataan yang bisa kurasakan dari sentuhan bagian depan tubuhmu, yang kenyal dan melelapkan. Kunikmati sedalam-dalamnya pelukan terkenyal ini. Sungguh, aku tengah mabuk dalam pelukan. Mungkin kamu bisa melihat kemabukan itu dari mataku yang tengah menatap matamu.
Mataku dan matamu saling mengucapkan kata-kata yang hanya dipahami oleh perasaan. Tidak akan pernah terurai secara jelas dan lengkap dalam segala kamus berbahasa manusia. Mendadak seluruh isi kepalaku benar-benar berisi pesonamu, mengalahkan pesona seluruh pantai di daerahku.
Siang yang terik. Matahari yang ganas. Apalah iklim dan cuaca karena pepohonan pinus telah menaungi aku dan kamu. Juga bayangan atap pondok kayu beratap rumbia menambah teduh pertautan tubuh aku dan kamu.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?”
Aku nyaris tertawa mendengar pertanyaanmu. Lucu? Iya! Persis pertanyaan media sosial untuk status penggunanya, “Apa yang sedang Anda pikirkan”. Kalau bukan karena suasana syahdu tengah merayu-mendayu seperti sekarang ini, sudah pasti aku bisa tertawa ngakak hingga berguling-guling di hamparan pasir putih Pantai Rambak ini.
“Bagaimana kamu bisa tiba-tiba datang?” Akhirnya aku memakai kata “bagaimana”, bukannya “mengapa” karena sudah kamu bilang “aku kangen kamu”. Kangen yang berasal dari suasana hati sudah lebih dari cukup untuk menyingkap kemungkinan apa pun yang tidak perlu diperpanjang dengan aneka prasangka percuma.
“Satu hari kamu menghilang, segera aku mencari informasi. Ketika kamu sebut ‘Pantai Rambak’, sampailah bibirku melumat bibirmu.”
Begitulah. Singkat, cepat, tepat, dan akurat. Bibir berjumpa bibir, dan berjabat erat, saling melumat, melibas batas ruang dan waktu tanpa perlu membuka peta atau bertanya ke sebuah biro perjalanan wisata.
Memang terlalu mudah menemukan aku. Bangka bukanlah pulau yang jauh dari Jakarta. Hanya 50 menit, sudah sampai. Hanya 20 menit pun sampai ke Sungailiat–kota kedua teramai di Pulau Bangka, setelah Pangkalpinang.
Kata “Sungailiat” bukanlah nama sebuah kota kecil yang tidak tertera pada peta nasional. Aku sudah mengenalkan daerah asalku melalui akun media sosialku, tentunya, tidaklah perlu merepotkan siapa pun mencarinya. Angkutan antarkota pun sangat mudah didapatkan. Ongkosnya pun tidaklah menjadi masalah krusial bagimu, ‘kan?
Dan, Pantai Rambak apalagi bukan dalam masa liburan, tentunya terlalu mudah untuk kamu kunjungi sekaligus menemui kesendirianku di pondok kayu ini. Pantai yang sedang berhari sepi, sendirilah aku di sini. Pantas saja ketika kusebut “Pantai Rambak”, seketika obrolan kamu putuskan.
Sebenarnya ketika kamu putuskan itu, ah, tapi, sudahlah. Lumatan bibirmu telah menyampaikan sebuah kenyataan yang tidak pernah terlintas di benakku sejak perjumpaan pertama di Kedai Kopi Paste di Mal Citraland itu. Perjumpaan pertama yang serta-merta kamu suguhkan tato mahkota di antara tengkuk dan punggung mulusmu.
Serta-merta pula aku membalikkan tubuhmu dengan sedikit mengelakkan kepala dari kalungan lenganmu di leherku. Sebelum kamu bertanya “kenapa”, segera kulumat mahkota yang tertera pada kulit mulusmu di antara tengku dan punggung. Kemudian kukecup seluruh permukaan kulitmu yang tidak tertutupi oleh kerah kausmu.
“Ah, ah, ah…” Lalu kamu mendesis. Aku tidak peduli karena kulit putih-mulusmu terlalu indah, dan tidak perlu kutambahi dengan pikiran selain menikmati fakta ini.
Cukup sekian menit kunikmati kenyataan di hadapanku sejak melihatnya pertama dulu. Cukup sekian menit untuk menghapus rentang waktu, dan menjadi kenyataan dalam satu kerdipan mata. Cukup sekian menit untuk mengusir seluruh yang berasal dari aroma asap knalpot Ibukota, muntahan kawan kos yang mabuk sepulang dari hiburan malam Top One, dan bau naga petugas tiket masuk Pantai Rambak ini.
Arkian kubalikkan lagi tubuhmu, dan merangkul pinggangmu. Kedua lenganmu langsung menggapai leherku. Bagian depan tubuhku dan tubuhmu merapat kembali.
“Alangkah cantiknya kamu.”
“Dengan kawanku yang di sofa itu?”
“Yang mana?”
“Yang aku dan dia duduk tapi saling memunggungi itu lho.”
“Oooo… yang itu.”
“Ya, yang itu. Bagaimana?”
“Dia cantik tetapi kamu alangkah cantiknya. Kalau dia ganteng, kamu-lah yang cantik.”
Barangkali kamu hendak tertawa tetapi bibirmu telanjur langsung kuterkam dengan bibirku. Bukan waktunya untuk membanding-tandingkan, lantas menertawai kelucuan yang tidak tepat waktu-tempatnya. Waktu terkini dan sedang panas dari pelukan tubuh adalah melumat bibirmu yang lebih nikmat daripada duren berkaliber dunia sekalipun.
Aku sedang tidak ingin berpikir serta berbicara mengenai apa atau siapa di luar pertautan bibir di antara aku dan kamu. Kesempatan semacam ini bukanlah kesempatan yang pernah terjadi, meskipun perjumpaan sudah tenggelam di kaki langit ujung timur Pantai Rambak.
Lumatan bibir aku dan kamu adalah jembatan komunikasi-informasi tersingkat dan terhangat di dunia. Segala ingatan dan pertanyaan usang sudah tidak menjadi jurang yang menjaraki pikiran dan masa. Dengan kedua mata yang terpejam, aku dan kamu sengaja mengundang gelap merengkuh keseluruhan rasa yang bergemuruh seakan beradu dengan gemuruh ombak.
Terlebih pergulatan lidah antara aku dan kamu yang kemudian berkelindan seakan bibir pasir yang tidak puas berkecupan dengan bibir laut, dengan basah yang saling mengisi sebagai satu-kesatuan komunikasi-informasi yang sangat melekat-erat tanpa perlu menunggu himbauan dari kantor Kemeninfo.
“Woi! Oooom!”
Tiba-tiba terang menyambar kedua mataku ketika sebuah teriakan menendang gendang telingaku. Tak ayal aku menoleh ke sumber teriakan.
Di sana, sekitar 20 meter jaraknya, seorang anak laki-laki sekitar umur 10 tahun, berkaus tim kesebelasan Brazil, sedang duduk di atas sepeda mininya. Mulutnya tersumpal sebatang es lilin. Untung saja anak itu tidak sedang mengabadikan kegiatan aku dan kamu barusan melalui kamera ponsel.
Oh iya! Aku baru ingat, aku belum bayar sewa pondok. Tadi pagi anak itu sudah mengingatkan soal harga sewa pondok, yang juga sudah aku lihat pada selembar karton berlaminating dan digantung dekat balok kecil struktur atap. “Pengelola Pantai Rambak Menyediakan….”, yang salah satunya tertera “Sewa Saung/Pondok, Rp 50.000,-“ tapi kutawar Rp.25.000,- karena aku sendirian, dan disetujui.
“Ya, ya, ya, Boy!” Aku segera melepaskan pelukan, dan bergegas ke arah anak yang kupanggil dengan nama “boy” itu.
Kata “boy” merupakan kosakata yang biasa dipakai oleh orang Bangka untuk menggantikan nama seorang laki-laki yang belum diperkenalkan seperti “Mas”, atau “Dik”. Biasanya antarremaja. Tapi juga antara orang lebih tua kepada seorang remaja laki-laki.
Sambil merogoh dompet, aku meminta maaf padanya karena aku lupa membayar sewa pondok. Lalu kukeluarkan dompetku, dan membukanya.
“Nih.”
“Tidak boleh duapuluh lima, Om. Kata bapak, sewanya jadi limapuluh ribu. Soalnya…”
Dasar hantu cilik, makiku dalam hati. Tadinya boleh kutawar tetapi, ketika sudah asyik-masyuk denganmu, lantas harga sewa langsung berubah alias kembali ke harga awal. Memang dasar hantu cilik, makan tuh!
*******
Panggung Renung – Balikpapan, 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI