Ya, daya magis masa usang dari sepasang mata yang menjadi idaman dalam pencarianku pada sepucuk cinta karena pergaulanku yang lama dengan kawan-kawan Tionghoa sejak pertama mengenal arti kata sekolah, buku, belajar, berkawan, dan cinta monyet. Apakah dulu sebenarnya adalah cikal-bakal takdirku untuk bisa merasakan keindahan oriental itu yang tidak kusadari? Entahlah.
Â
Entahlah dengan semua yang usang. Di hadapanku adalah kamu, yang dengan tiba-tiba menyergapku pada pagar waktu usang dan sekarang. Bukan waktunya untuk bertanya seolah seorang wartawan kampus bertemu seorang narasumber yang tengah menjadi subyek berita nasional. Sekarang waktunya untuk meyakinkan diriku sendiri pada situasi semacam ini.
Â
Dan, kali ini merupakan kesempatan pertamaku untuk memandangmu dalam jarak hanya 20 cm. Sebuah jarak yang sangat jelas-tegas untuk benar-benar bisa menikmati pesonamu dengan segenap ingatan dan perasaan. Degup dadaku, ah, entahlah. Debarnya hanya bisa disaingi oleh debur ombak yang menghantam karang granit di dekat pelukan aku dan kamu.
Â
Kali ini adalah kenyataan yang bisa kurasakan dari sentuhan bagian depan tubuhmu, yang kenyal dan melelapkan. Kunikmati sedalam-dalamnya pelukan terkenyal ini. Sungguh, aku tengah mabuk dalam pelukan. Mungkin kamu bisa melihat kemabukan itu dari mataku yang tengah menatap matamu.
Â
Mataku dan matamu saling mengucapkan kata-kata yang hanya dipahami oleh perasaan. Tidak akan pernah terurai secara jelas dan lengkap dalam segala kamus berbahasa manusia. Mendadak seluruh isi kepalaku benar-benar berisi pesonamu, mengalahkan pesona seluruh pantai di daerahku.
Â
Siang yang terik. Matahari yang ganas. Apalah iklim dan cuaca karena pepohonan pinus telah menaungi aku dan kamu. Juga bayangan atap pondok kayu beratap rumbia menambah teduh pertautan tubuh aku dan kamu.