"Malam ini... rawa tidak tidur," katanya lirih.
Koloni terdiam. Tapi bukan kesepian yang melingkupi mereka. Ini keheningan yang punya makna. Seperti tanah yang diam tapi menyuburkan, seperti udara yang hening tapi memberi nafas.
"Apa kau tahu, Rawari?" kata Kepi pelan, "Saat Musamus masih sehat, ia pernah berkata padaku: 'Kelak, saat tubuhku lelah dan suara tak lagi keluar, jangan tangisi kepergianku. Sebab malam akan jadi saksi bahwa aku tidak pergi, aku hanya berubah menjadi gema di antara kalian.'"
"Dan malam ini," Rawari melanjutkan, "gemanya mengalun di dalam dada kita."
Seekor udang rawa melompat kecil dari permukaan air, membuat riak kecil yang menyentuh akar-akar ketapang. Ia menggeliat pelan lalu berbicara.
"Bolehkah aku duduk di sini? Aku ingin menyampaikan satu cerita."
Rawari mengangguk. "Tentu, sahabat."
Udang itu membuka kisah, "Dulu, saat aku masih kecil, aku pernah nyasar ke liang semut. Aku takut. Tapi justru Musamus yang datang, mengarahkan semut-semut penggali agar membuatkan jalan kembali ke kolam. Ia bilang, 'kita semua berasal dari rahim yang sama: tanah, air, dan cahaya.' Dan sejak hari itu, aku tahu... ia bukan sekadar pemimpin. Ia penjaga irama hidup."
Semut-semut lain mulai mengangguk. Satu per satu, mereka berbagi potongan kenangan. Tentang bagaimana Musamus pernah memindahkan sarang ke tanah tinggi sebelum air naik. Tentang bagaimana ia menyelamatkan telur semut dari banjir. Tentang bagaimana ia membangun bukan dengan perintah, melainkan dengan keteladanan.
Tiba-tiba, langit membuka sedikit selimutnya. Bulan menampakkan wajah, memantul di permukaan air rawa dan memandikan sarang dengan cahaya keperakan.
Patu memandang cahaya itu. "Lihat... itu seperti cahaya di dada Musamus waktu dia berbicara soal harapan."