Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 55-56

7 September 2025   04:25 Diperbarui: 6 September 2025   18:38 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Warisan Tanpa Kata

Mentari belum menyentuh pucuk palem, tapi cahaya lembutnya sudah menari di permukaan rawa. Kabut menggantung rendah, seolah enggan pergi dari pelukan tanah yang masih menyimpan hangat tubuh Musamus. Suasana hening, namun bukan hening yang sunyi. Ini hening yang penuh gema, gema dari warisan tanpa kata.

Musamus telah menyatu. Ia tidak mati, karena semut tak percaya kematian menghapus jejak. Ia hanya kembali ke perut bumi, tempat semua benih kehidupan bermula. Di atas sarang yang masih hangat oleh cinta, koloni berkumpul lagi, kali ini bukan untuk berduka, tetapi untuk merawat pesan yang tertinggal.

"Dia tak pernah menulis satu patah pun," bisik Rawari sambil menyentuh dinding sarang dengan antenanya. "Tapi lihat, setiap ruas kayu bus ini bercerita."

Semut-semut muda mengangguk. Mereka tahu, sarang Musamus bukan sekadar rumah, ia adalah kitab hidup, dibangun dengan teladan, bukan tulisan.

Seekor kepiting rawa merangkak ke tengah. Ia menyeret batang bambu kecil, lalu menancapkannya dekat dinding sarang. "Ini," katanya, "untuk menopang bagian timur yang mulai rapuh. Aku belajar dari Musamus, bahwa menjaga rumah bukan tugas satu makhluk, tapi semua."

"Warisannya bukan milik semut semata," timpal Udang, tubuhnya berkilau disiram cahaya pagi. "Ia milik semua yang pernah disentuh kasihnya. Bahkan akar bakau pun tumbuh lebih tegak karena nasihatnya."

Rawari mengangguk pelan, "Musamus tak pernah menyuruh kita mencatat. Tapi lihat tanah ini, lihat rumpun ketapang yang ia tanam saat banjir melanda, itu semua adalah pesan. Pesan yang butuh dirawat, bukan dibaca."

Seekor burung rawa yang hinggap di pucuk palem menimpali, suaranya serak namun lembut, "Kemarin malam, aku mendengar angin berbisik di antara daun-daun. Ia berkata: 'Pemimpin sejati tak meninggalkan takhta, tapi teladan yang tumbuh di dada yang mendengar.'"

Patu, semut muda yang masih bertanya-tanya tentang arti kehilangan, melangkah pelan ke sisi Rawari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun