Warisan Tanpa Kata
Mentari belum menyentuh pucuk palem, tapi cahaya lembutnya sudah menari di permukaan rawa. Kabut menggantung rendah, seolah enggan pergi dari pelukan tanah yang masih menyimpan hangat tubuh Musamus. Suasana hening, namun bukan hening yang sunyi. Ini hening yang penuh gema, gema dari warisan tanpa kata.
Musamus telah menyatu. Ia tidak mati, karena semut tak percaya kematian menghapus jejak. Ia hanya kembali ke perut bumi, tempat semua benih kehidupan bermula. Di atas sarang yang masih hangat oleh cinta, koloni berkumpul lagi, kali ini bukan untuk berduka, tetapi untuk merawat pesan yang tertinggal.
"Dia tak pernah menulis satu patah pun," bisik Rawari sambil menyentuh dinding sarang dengan antenanya. "Tapi lihat, setiap ruas kayu bus ini bercerita."
Semut-semut muda mengangguk. Mereka tahu, sarang Musamus bukan sekadar rumah, ia adalah kitab hidup, dibangun dengan teladan, bukan tulisan.
Seekor kepiting rawa merangkak ke tengah. Ia menyeret batang bambu kecil, lalu menancapkannya dekat dinding sarang. "Ini," katanya, "untuk menopang bagian timur yang mulai rapuh. Aku belajar dari Musamus, bahwa menjaga rumah bukan tugas satu makhluk, tapi semua."
"Warisannya bukan milik semut semata," timpal Udang, tubuhnya berkilau disiram cahaya pagi. "Ia milik semua yang pernah disentuh kasihnya. Bahkan akar bakau pun tumbuh lebih tegak karena nasihatnya."
Rawari mengangguk pelan, "Musamus tak pernah menyuruh kita mencatat. Tapi lihat tanah ini, lihat rumpun ketapang yang ia tanam saat banjir melanda, itu semua adalah pesan. Pesan yang butuh dirawat, bukan dibaca."
Seekor burung rawa yang hinggap di pucuk palem menimpali, suaranya serak namun lembut, "Kemarin malam, aku mendengar angin berbisik di antara daun-daun. Ia berkata: 'Pemimpin sejati tak meninggalkan takhta, tapi teladan yang tumbuh di dada yang mendengar.'"
Patu, semut muda yang masih bertanya-tanya tentang arti kehilangan, melangkah pelan ke sisi Rawari.