Tanah basah rawa-rawa Marind menyimpan banyak hal yang tak tampak. Akar-akarnya tak hanya menembus lumpur, tapi juga menyimpan cerita yang tak pernah hilang ditelan waktu. Di sela-sela anyaman akar bakau dan ketapang, suara-suara yang tak terucap bergulir perlahan. Seolah bumi menyimpan gema dari mereka yang pernah mencintainya.
Pagi itu, koloni terdiam di sekitar sarang pusat. Angin hanya berani berbisik pelan, takut mengusik duka yang masih segar. Musamus, sang kepala kampung, telah tak mampu bicara. Ia terbaring dalam diam yang panjang, dikelilingi daun palem kering dan anyaman bambu yang dirangkai oleh semut-semut muda dengan penuh hormat.
Rawari berdiri di sisi tubuh Musamus. Ia belum mengucap sepatah kata pun sejak fajar. Tapi tangannya tak henti menyentuh tanah. Menyentuh kehidupan. Mendengarkan yang tak tampak.
"Kau percaya... tanah bisa bicara?" bisik Nyuwa, semut penggali liang yang tubuhnya penuh noda lumpur.
Rawari mengangguk pelan. "Tanah selalu bicara, Nyuwa. Kita yang sering terlalu sibuk untuk mendengarnya."
Mendadak tanah di bawah kaki mereka bergetar ringan. Bukan gempa, bukan ancaman. Tapi ritme. Seperti detak jantung. Seperti langkah yang datang dari kedalaman bumi.
"Rawari, kau merasakannya juga?" tanya Kepi, penjaga sarang.
"Iya. Ini... seperti getaran lama. Seperti Musamus yang sedang bicara lewat tanah."
Koloni terdiam. Bahkan suara udang rawa yang biasa mencipratkan air pun lenyap. Di sela akar kayu bus yang melintang di atas sarang, belut tua muncul ke permukaan, matanya menyipit.
"Ah, suara itu," desisnya, "aku pernah mendengarnya puluhan musim yang lalu, saat Musamus pertama kali berdiri di sini."
Rawari mengangguk. "Gema dari dalam tanah."
Seekor semut pekerja muda mendekat, gemetar. "Tapi... Musamus tak lagi bicara."
"Jiwanya bicara," sahut Rawari. "Ketika ia jatuh diam, tanah mengambil alih. Dan kini tanah mengembalikan suaranya kepada kita."
Semut-semut saling menatap, tak lagi takut. Mereka menunduk menyentuh tanah, seperti menyentuh dahi seorang tetua.
Dari kejauhan, burung heron rawa datang dan hinggap di atas kayu palem yang kering. Ia tak berbicara, tapi menunduk dalam penghormatan. Suasana menjadi sakral, seolah semua makhluk rawa ikut berkabung sekaligus menyatu dalam sesuatu yang lebih besar dari kesedihan: *pengharapan*.
Rawari berdiri dan mulai berbicara, bukan dengan suara keras, tapi dengan getar suara yang menyentuh tanah.
"Musamus pernah berkata, pemimpin yang baik bukan hanya berbicara untuk koloni, tapi membiarkan tanah berbicara melaluinya. Dan hari ini, tanah menggema kembali. Ia bicara tentang persatuan. Tentang semangat yang tumbuh dalam kesunyian."
Nyuwa menambahkan, "Dan tentang keberanian yang tidak perlu teriak untuk bisa mengguncang dunia."
Koloni mulai berdiri, satu per satu. Mereka tidak menangis. Tidak juga bersorak. Mereka menggali tanah. Membangun sarang kecil di sekitar tubuh Musamus yang terbaring. Bukan untuk mengubur, tapi untuk menyatukan tubuhnya dengan tanah, agar suaranya tetap hidup di dalam bumi.
"Aku ingin sarangnya dibangun dari serat palem dan kayu bambu muda," pinta Rawari.
"Dan dilapisi tanah dari empat penjuru rawa," sahut Bunga, semut betina pembawa larva.
"Lalu diberi daun ketapang di puncaknya," tambah Nyuwa.
Koloni mulai bekerja. Tak ada yang menyuruh. Tak ada yang diam. Mereka menggali, menenun, mengikat, dan menyusun. Seekor kepiting rawa ikut membawa lumpur. Udang melepaskan busa air sebagai pendingin. Bahkan burung kecil dari rumpun palem menyumbang bulu untuk alas tubuh Musamus.
Di bawah tanah, akar-akar ketapang dan bakau mulai tumbuh ke arah sarang itu, seolah hendak menyambut. Tanah bukan lagi kubur, melainkan perpanjangan jiwa Musamus.
Ketika matahari mulai condong ke barat, Rawari berdiri di depan sarang. Ia menatap seluruh koloni.
"Musamus telah menyatu. Kini bukan hanya kita yang membawa semangatnya. Tanah pun ikut membawa."
"Dan semangat itu akan menggema setiap kali kita menyentuh bumi," ucap Kepi.
Rawari menepuk dada kecilnya. "Setiap kali kita menggali untuk membangun, tanah akan menjawab. Setiap kali kita merasa kehilangan, tanah akan memeluk. Dan ketika kita lupa arah, gema itu akan membimbing."
Koloni mengangguk. Lalu serempak mereka menunduk, menyentuhkan antena mereka ke permukaan tanah. Dalam diam, mereka mendengar gema itu: getaran cinta yang tak pernah hilang.
Seekor ikan rawa melompat dari air, menciptakan gelombang kecil yang menyentuh akar bakau. Di atas, daun palem bergoyang seolah menyambut angin yang membawa pesan: "Musamus telah menyatu. Tapi suaranya akan selalu bangkit. Lewat tanah. Lewat kita."
Malam di Sekitar Musamus
Malam turun perlahan seperti tirai kain sagu yang lembut disibakkan angin rawa. Awan bergelayut rendah, membekap langit dalam pelukan kelabu. Tapi di tengah tanah becek yang masih hangat oleh jejak siang, ada cahaya lain yang tak bisa dipadamkan: cahaya yang hidup di dada para penghuni rawa, menyala di sekitar tubuh terbaring Musamus.
Sarang pusat yang menaungi tubuh sang kepala kampung kini berselimut tenang. Dedaunan ketapang dan helai palem disusun rapi membentuk kubah kecil, di mana setiap ruas bambu dan simpul kayu bus menyimpan cerita. Tanah di sekelilingnya dibentuk seperti pelukan. Tidak keras. Tidak kaku. Tapi penuh kelembutan yang hanya bisa diukir oleh cinta.
Di sekeliling sarang, semut-semut duduk dalam lingkaran yang tenang. Mereka tidak berseru. Tidak juga bernyanyi. Tapi dalam diam, mereka menyulam malam dengan doa yang tak punya kata.
"Rawari, kenapa kita tidak tidur saja malam ini?" tanya seekor semut muda bernama Patu, suaranya kecil seperti embusan angin di celah akar.
Rawari memandangi cahaya kunang-kunang yang melayang pelan di atas kepala. "Karena malam ini bukan malam biasa, Patu. Ini malam yang memeluk kita. Malam yang butuh kita untuk berjaga."
"Musamus... akan pergi malam ini?" Patu menunduk.
"Tidak," Rawari tersenyum sendu. "Musamus sudah menyatu. Tapi semangatnya memilih bertahan malam ini. Agar kita tidak sendiri."
Seekor kepiting rawa menggeser tubuhnya ke pinggir lingkaran, tangannya membawa potongan kayu bus. Ia meletakkannya perlahan di dekat sarang.
"Aku tak tahu banyak tentang semut," gumamnya, "tapi aku tahu tentang kehilangan. Dan malam-malam seperti ini... tidak bisa kita lewati sendiri."
Seekor belut rawa muncul dari kubangan air. Tubuhnya berkilat oleh cahaya bulan yang bersembunyi malu di balik awan. "Kami di bawah tanah pun merasakan perih itu. Getaran tanah tadi siang... masih mengalir sampai ke liang kami. Rasanya seperti suara yang tak ingin pergi."
Dari balik semak bakau, burung malam bersuara serak, lalu hinggap diam di atas batang palem. Ia menunduk dalam sikap hormat.
"Malam ini... rawa tidak tidur," katanya lirih.
Koloni terdiam. Tapi bukan kesepian yang melingkupi mereka. Ini keheningan yang punya makna. Seperti tanah yang diam tapi menyuburkan, seperti udara yang hening tapi memberi nafas.
"Apa kau tahu, Rawari?" kata Kepi pelan, "Saat Musamus masih sehat, ia pernah berkata padaku: 'Kelak, saat tubuhku lelah dan suara tak lagi keluar, jangan tangisi kepergianku. Sebab malam akan jadi saksi bahwa aku tidak pergi, aku hanya berubah menjadi gema di antara kalian.'"
"Dan malam ini," Rawari melanjutkan, "gemanya mengalun di dalam dada kita."
Seekor udang rawa melompat kecil dari permukaan air, membuat riak kecil yang menyentuh akar-akar ketapang. Ia menggeliat pelan lalu berbicara.
"Bolehkah aku duduk di sini? Aku ingin menyampaikan satu cerita."
Rawari mengangguk. "Tentu, sahabat."
Udang itu membuka kisah, "Dulu, saat aku masih kecil, aku pernah nyasar ke liang semut. Aku takut. Tapi justru Musamus yang datang, mengarahkan semut-semut penggali agar membuatkan jalan kembali ke kolam. Ia bilang, 'kita semua berasal dari rahim yang sama: tanah, air, dan cahaya.' Dan sejak hari itu, aku tahu... ia bukan sekadar pemimpin. Ia penjaga irama hidup."
Semut-semut lain mulai mengangguk. Satu per satu, mereka berbagi potongan kenangan. Tentang bagaimana Musamus pernah memindahkan sarang ke tanah tinggi sebelum air naik. Tentang bagaimana ia menyelamatkan telur semut dari banjir. Tentang bagaimana ia membangun bukan dengan perintah, melainkan dengan keteladanan.
Tiba-tiba, langit membuka sedikit selimutnya. Bulan menampakkan wajah, memantul di permukaan air rawa dan memandikan sarang dengan cahaya keperakan.
Patu memandang cahaya itu. "Lihat... itu seperti cahaya di dada Musamus waktu dia berbicara soal harapan."
Rawari tersenyum. "Itu karena cahaya itu tidak pernah pergi, Patu. Ia hanya pindah tempat. Sekarang, ia ada di dada kita semua."
Malam mulai menua. Angin berembus pelan membawa bau tanah, lumpur, dan bunga palem yang gugur. Tapi tak satu pun dari mereka ingin meninggalkan lingkaran. Mereka tahu, malam ini, mereka tak sedang berjaga untuk tubuh Musamus. Mereka sedang berjaga untuk menjaga makna.
Seekor kunang-kunang turun, hinggap di ujung kepala Musamus. Sayapnya berkedip lembut, seolah menjadi obor kecil yang menjaga jiwa besar itu agar tetap menyala.
"Besok pagi," ucap Rawari pelan, "kita akan lanjutkan membangun saluran air yang ia rancang. Kita akan tanam lagi rumpun bambu yang rubuh di timur. Kita akan ajarkan larva-larva muda cara berbicara dengan tanah."
"Dan kita akan ingat, bahwa malam seperti ini... adalah akar dari pagi yang baik," sahut Kepi.
Mereka duduk lebih rapat. Semut, kepiting, belut, udang, burung, dan kunang-kunang. Di bawah langit Merauke yang sunyi, mereka membentuk satu koloni besar: koloni yang tak lagi dibatasi oleh jenis atau warna, melainkan oleh cinta dan gema yang sama.
Malam menutup mata, tapi semangat tetap terjaga.
Bersambung
Merauke, 05 September 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI