Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 53-54

5 September 2025   04:25 Diperbarui: 4 September 2025   19:11 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

"Ah, suara itu," desisnya, "aku pernah mendengarnya puluhan musim yang lalu, saat Musamus pertama kali berdiri di sini."

Rawari mengangguk. "Gema dari dalam tanah."

Seekor semut pekerja muda mendekat, gemetar. "Tapi... Musamus tak lagi bicara."

"Jiwanya bicara," sahut Rawari. "Ketika ia jatuh diam, tanah mengambil alih. Dan kini tanah mengembalikan suaranya kepada kita."

Semut-semut saling menatap, tak lagi takut. Mereka menunduk menyentuh tanah, seperti menyentuh dahi seorang tetua.

Dari kejauhan, burung heron rawa datang dan hinggap di atas kayu palem yang kering. Ia tak berbicara, tapi menunduk dalam penghormatan. Suasana menjadi sakral, seolah semua makhluk rawa ikut berkabung sekaligus menyatu dalam sesuatu yang lebih besar dari kesedihan: *pengharapan*.

Rawari berdiri dan mulai berbicara, bukan dengan suara keras, tapi dengan getar suara yang menyentuh tanah.

"Musamus pernah berkata, pemimpin yang baik bukan hanya berbicara untuk koloni, tapi membiarkan tanah berbicara melaluinya. Dan hari ini, tanah menggema kembali. Ia bicara tentang persatuan. Tentang semangat yang tumbuh dalam kesunyian."

Nyuwa menambahkan, "Dan tentang keberanian yang tidak perlu teriak untuk bisa mengguncang dunia."

Koloni mulai berdiri, satu per satu. Mereka tidak menangis. Tidak juga bersorak. Mereka menggali tanah. Membangun sarang kecil di sekitar tubuh Musamus yang terbaring. Bukan untuk mengubur, tapi untuk menyatukan tubuhnya dengan tanah, agar suaranya tetap hidup di dalam bumi.

"Aku ingin sarangnya dibangun dari serat palem dan kayu bambu muda," pinta Rawari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun