"Ah, suara itu," desisnya, "aku pernah mendengarnya puluhan musim yang lalu, saat Musamus pertama kali berdiri di sini."
Rawari mengangguk. "Gema dari dalam tanah."
Seekor semut pekerja muda mendekat, gemetar. "Tapi... Musamus tak lagi bicara."
"Jiwanya bicara," sahut Rawari. "Ketika ia jatuh diam, tanah mengambil alih. Dan kini tanah mengembalikan suaranya kepada kita."
Semut-semut saling menatap, tak lagi takut. Mereka menunduk menyentuh tanah, seperti menyentuh dahi seorang tetua.
Dari kejauhan, burung heron rawa datang dan hinggap di atas kayu palem yang kering. Ia tak berbicara, tapi menunduk dalam penghormatan. Suasana menjadi sakral, seolah semua makhluk rawa ikut berkabung sekaligus menyatu dalam sesuatu yang lebih besar dari kesedihan: *pengharapan*.
Rawari berdiri dan mulai berbicara, bukan dengan suara keras, tapi dengan getar suara yang menyentuh tanah.
"Musamus pernah berkata, pemimpin yang baik bukan hanya berbicara untuk koloni, tapi membiarkan tanah berbicara melaluinya. Dan hari ini, tanah menggema kembali. Ia bicara tentang persatuan. Tentang semangat yang tumbuh dalam kesunyian."
Nyuwa menambahkan, "Dan tentang keberanian yang tidak perlu teriak untuk bisa mengguncang dunia."
Koloni mulai berdiri, satu per satu. Mereka tidak menangis. Tidak juga bersorak. Mereka menggali tanah. Membangun sarang kecil di sekitar tubuh Musamus yang terbaring. Bukan untuk mengubur, tapi untuk menyatukan tubuhnya dengan tanah, agar suaranya tetap hidup di dalam bumi.
"Aku ingin sarangnya dibangun dari serat palem dan kayu bambu muda," pinta Rawari.