Rawari tersenyum. "Itu karena cahaya itu tidak pernah pergi, Patu. Ia hanya pindah tempat. Sekarang, ia ada di dada kita semua."
Malam mulai menua. Angin berembus pelan membawa bau tanah, lumpur, dan bunga palem yang gugur. Tapi tak satu pun dari mereka ingin meninggalkan lingkaran. Mereka tahu, malam ini, mereka tak sedang berjaga untuk tubuh Musamus. Mereka sedang berjaga untuk menjaga makna.
Seekor kunang-kunang turun, hinggap di ujung kepala Musamus. Sayapnya berkedip lembut, seolah menjadi obor kecil yang menjaga jiwa besar itu agar tetap menyala.
"Besok pagi," ucap Rawari pelan, "kita akan lanjutkan membangun saluran air yang ia rancang. Kita akan tanam lagi rumpun bambu yang rubuh di timur. Kita akan ajarkan larva-larva muda cara berbicara dengan tanah."
"Dan kita akan ingat, bahwa malam seperti ini... adalah akar dari pagi yang baik," sahut Kepi.
Mereka duduk lebih rapat. Semut, kepiting, belut, udang, burung, dan kunang-kunang. Di bawah langit Merauke yang sunyi, mereka membentuk satu koloni besar: koloni yang tak lagi dibatasi oleh jenis atau warna, melainkan oleh cinta dan gema yang sama.
Malam menutup mata, tapi semangat tetap terjaga.
Bersambung
Merauke, 05 September 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI