Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 53-54

5 September 2025   04:25 Diperbarui: 4 September 2025   19:11 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Malam ini... rawa tidak tidur," katanya lirih.

Koloni terdiam. Tapi bukan kesepian yang melingkupi mereka. Ini keheningan yang punya makna. Seperti tanah yang diam tapi menyuburkan, seperti udara yang hening tapi memberi nafas.

"Apa kau tahu, Rawari?" kata Kepi pelan, "Saat Musamus masih sehat, ia pernah berkata padaku: 'Kelak, saat tubuhku lelah dan suara tak lagi keluar, jangan tangisi kepergianku. Sebab malam akan jadi saksi bahwa aku tidak pergi, aku hanya berubah menjadi gema di antara kalian.'"

"Dan malam ini," Rawari melanjutkan, "gemanya mengalun di dalam dada kita."

Seekor udang rawa melompat kecil dari permukaan air, membuat riak kecil yang menyentuh akar-akar ketapang. Ia menggeliat pelan lalu berbicara.

"Bolehkah aku duduk di sini? Aku ingin menyampaikan satu cerita."

Rawari mengangguk. "Tentu, sahabat."

Udang itu membuka kisah, "Dulu, saat aku masih kecil, aku pernah nyasar ke liang semut. Aku takut. Tapi justru Musamus yang datang, mengarahkan semut-semut penggali agar membuatkan jalan kembali ke kolam. Ia bilang, 'kita semua berasal dari rahim yang sama: tanah, air, dan cahaya.' Dan sejak hari itu, aku tahu... ia bukan sekadar pemimpin. Ia penjaga irama hidup."

Semut-semut lain mulai mengangguk. Satu per satu, mereka berbagi potongan kenangan. Tentang bagaimana Musamus pernah memindahkan sarang ke tanah tinggi sebelum air naik. Tentang bagaimana ia menyelamatkan telur semut dari banjir. Tentang bagaimana ia membangun bukan dengan perintah, melainkan dengan keteladanan.

Tiba-tiba, langit membuka sedikit selimutnya. Bulan menampakkan wajah, memantul di permukaan air rawa dan memandikan sarang dengan cahaya keperakan.

Patu memandang cahaya itu. "Lihat... itu seperti cahaya di dada Musamus waktu dia berbicara soal harapan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun