"Dan dilapisi tanah dari empat penjuru rawa," sahut Bunga, semut betina pembawa larva.
"Lalu diberi daun ketapang di puncaknya," tambah Nyuwa.
Koloni mulai bekerja. Tak ada yang menyuruh. Tak ada yang diam. Mereka menggali, menenun, mengikat, dan menyusun. Seekor kepiting rawa ikut membawa lumpur. Udang melepaskan busa air sebagai pendingin. Bahkan burung kecil dari rumpun palem menyumbang bulu untuk alas tubuh Musamus.
Di bawah tanah, akar-akar ketapang dan bakau mulai tumbuh ke arah sarang itu, seolah hendak menyambut. Tanah bukan lagi kubur, melainkan perpanjangan jiwa Musamus.
Ketika matahari mulai condong ke barat, Rawari berdiri di depan sarang. Ia menatap seluruh koloni.
"Musamus telah menyatu. Kini bukan hanya kita yang membawa semangatnya. Tanah pun ikut membawa."
"Dan semangat itu akan menggema setiap kali kita menyentuh bumi," ucap Kepi.
Rawari menepuk dada kecilnya. "Setiap kali kita menggali untuk membangun, tanah akan menjawab. Setiap kali kita merasa kehilangan, tanah akan memeluk. Dan ketika kita lupa arah, gema itu akan membimbing."
Koloni mengangguk. Lalu serempak mereka menunduk, menyentuhkan antena mereka ke permukaan tanah. Dalam diam, mereka mendengar gema itu: getaran cinta yang tak pernah hilang.
Seekor ikan rawa melompat dari air, menciptakan gelombang kecil yang menyentuh akar bakau. Di atas, daun palem bergoyang seolah menyambut angin yang membawa pesan: "Musamus telah menyatu. Tapi suaranya akan selalu bangkit. Lewat tanah. Lewat kita."
Malam di Sekitar Musamus