Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 53-54

5 September 2025   04:25 Diperbarui: 4 September 2025   19:11 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam turun perlahan seperti tirai kain sagu yang lembut disibakkan angin rawa. Awan bergelayut rendah, membekap langit dalam pelukan kelabu. Tapi di tengah tanah becek yang masih hangat oleh jejak siang, ada cahaya lain yang tak bisa dipadamkan: cahaya yang hidup di dada para penghuni rawa, menyala di sekitar tubuh terbaring Musamus.

Sarang pusat yang menaungi tubuh sang kepala kampung kini berselimut tenang. Dedaunan ketapang dan helai palem disusun rapi membentuk kubah kecil, di mana setiap ruas bambu dan simpul kayu bus menyimpan cerita. Tanah di sekelilingnya dibentuk seperti pelukan. Tidak keras. Tidak kaku. Tapi penuh kelembutan yang hanya bisa diukir oleh cinta.

Di sekeliling sarang, semut-semut duduk dalam lingkaran yang tenang. Mereka tidak berseru. Tidak juga bernyanyi. Tapi dalam diam, mereka menyulam malam dengan doa yang tak punya kata.

"Rawari, kenapa kita tidak tidur saja malam ini?" tanya seekor semut muda bernama Patu, suaranya kecil seperti embusan angin di celah akar.

Rawari memandangi cahaya kunang-kunang yang melayang pelan di atas kepala. "Karena malam ini bukan malam biasa, Patu. Ini malam yang memeluk kita. Malam yang butuh kita untuk berjaga."

"Musamus... akan pergi malam ini?" Patu menunduk.

"Tidak," Rawari tersenyum sendu. "Musamus sudah menyatu. Tapi semangatnya memilih bertahan malam ini. Agar kita tidak sendiri."

Seekor kepiting rawa menggeser tubuhnya ke pinggir lingkaran, tangannya membawa potongan kayu bus. Ia meletakkannya perlahan di dekat sarang.

"Aku tak tahu banyak tentang semut," gumamnya, "tapi aku tahu tentang kehilangan. Dan malam-malam seperti ini... tidak bisa kita lewati sendiri."

Seekor belut rawa muncul dari kubangan air. Tubuhnya berkilat oleh cahaya bulan yang bersembunyi malu di balik awan. "Kami di bawah tanah pun merasakan perih itu. Getaran tanah tadi siang... masih mengalir sampai ke liang kami. Rasanya seperti suara yang tak ingin pergi."

Dari balik semak bakau, burung malam bersuara serak, lalu hinggap diam di atas batang palem. Ia menunduk dalam sikap hormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun