Jejak yang Menyala dalam Gelap
Malam merambat perlahan di Kampung Wasur, menetes dari pucuk-pucuk pohon eukaliptus ke atap-atap daun sagu. Tidak ada yang terburu-buru dalam gelap di sini. Bayangan-bayangan panjang dari siang hari kini berubah jadi bisikan dan denting sunyi. Tetapi malam ini, tanah tidak sekosong biasanya. Ada nyala halus di antara akar, samar namun tak bisa diabaikan.
Musamus berdiri di tepi jalur semut, di dekat tanah becek yang baru saja dilewati hujan petang tadi. Ia menunduk, memperhatikan kilatan lembut---seperti bara kecil yang tertanam di tanah. Setiap jejak yang ditinggalkan oleh sesamanya mengeluarkan cahaya merah temaram, seolah tanah sedang mengingat siapa yang telah melaluinya.
"Apakah kau lihat itu, Nyuwa?" bisik Musamus, setengah tak percaya.
Nyuwa mendekat, matanya membelalak. "Itu... bukan pantulan cahaya bulan. Itu jejak kita."
Pak Gala tiba, tongkat kayunya menyentuh tanah pelan-pelan. "Akhirnya kalian melihat," katanya, seolah sedang menyambut tamu yang lama ditunggu.
"Apa maksudnya, Pak?" tanya Nyuwa. "Kenapa jejak kita menyala?"
Pak Gala mengangguk pelan, lalu duduk di atas akar yang menjulur seperti tangan tua yang menggapai.
"Di antara semut-semut pertama, ada satu yang dipercaya membawa api dari dalam bumi. Ia tak pernah berbicara, hanya berjalan tanpa henti, dan setiap langkahnya meninggalkan cahaya---jejak yang bisa diikuti, bahkan saat seluruh hutan tenggelam dalam gelap."
Musamus dan Nyuwa saling berpandangan.