Musamus mengernyit. "Tanah?"
"Iya," sahut Pak Gala yang tiba-tiba muncul dari balik pohon. "Tanah menyimpan semuanya, jejak, luka, sisa hujan, dan harapan yang belum selesai. Hati yang terbuat dari tanah tidak gampang terbakar, tapi juga tidak bisa dibentuk sembarangan. Ia harus diramu dengan waktu dan kejujuran."
Pak Gala jongkok, menyentuh tanah dengan penuh hormat, seperti menyentuh kening seorang bayi.
"Kau lihat retakan itu?" tunjuknya pada garis halus di tanah. "Itu bukan tanda kering. Itu ingatan. Tanah mengingat siapa yang berjalan dengan niat, dan siapa yang hanya lewat dengan topeng."
Musamus ikut jongkok. Ia menyentuh retakan itu. Dingin. Diam. Tapi juga dalam.
"Jadi... jika aku ingin menjadi sesuatu yang berarti, aku harus jadi bagian dari tanah ini?"
"Tidak cukup hanya jadi bagian," jawab Pak Gala. "Kau harus membiarkan hatimu menjadi tanah itu sendiri. Bisa diinjak tanpa mengeluh, bisa menyerap air mata dan menumbuhkan sesuatu darinya."
Nyuwa menatap Musamus lama, lalu berkata pelan, "Kau tahu kenapa para tetua menanam batu-batu kecil di bawah musamus sebelum membangunnya?"
Musamus menggeleng.
"Karena mereka tahu, bangunan tanpa hati akan roboh. Batu-batu itu---itu adalah kenangan, doa, dan luka. Itulah hati dari rumah kita."
Musamus mengangguk perlahan. Di dalam dirinya, ada gemuruh yang lembut---bukan seperti badai, tapi seperti gerimis pertama yang jatuh ke permukaan tanah yang lama tak tersentuh. Rasanya bukan seperti bangga. Rasanya lebih seperti tenang.