"Apa yang harus kulakukan sekarang, Pak?"
Pak Gala menatapnya dalam. "Jangan buru-buru menjawab dunia. Dengarlah dulu ia berbicara. Seperti malam ini. Seperti tanah ini."
Langit malam tak penuh bintang, tapi bumi di bawahnya justru bercahaya. Cahaya yang tak bisa dilihat mata biasa, tapi dikenali hati yang bersih.
Musamus menatap hutan yang gelap di kejauhan. Ia tahu, jalan ke depan akan sunyi, penuh rintangan. Tapi selama jejaknya meninggalkan hangat, bukan luka, maka ia tahu ia sedang berjalan ke arah yang benar.
Dan pada malam yang tak berbulan itu, Kampung Wasur bersinar bukan karena langit, melainkan karena bumi yang mengingat: bahwa pemimpin sejati berjalan dengan cahaya yang lahir dari dalam, dan jejaknya akan tetap menyala bahkan setelah malam pergi.
Hati yang Terbuat dari Tanah
Pagi itu, langit berwarna kelabu basah. Bukan karena hujan, melainkan karena angin membawa kabut tipis dari rawa. Bau tanah yang masih lembap setelah malam panjang menyusup ke dalam pori-pori kehidupan. Di Kampung Wasur, hari tidak dimulai dengan teriakan, melainkan dengan bisik alam yang pelan, daun yang bergesekan, burung yang menjerit pelan di sela dahan, dan tanah yang berdenyut pelan di bawah kaki.
Musamus berdiri di tengah lapangan tanah lempung yang mengeras, tempat biasa para semut muda berkumpul. Tangannya menyentuh dada---bukan karena sakit, tetapi karena perasaan aneh yang mengembang dari dalam.
"Kenapa rasanya seperti ini, Nyuwa?" tanyanya sambil menatap tanah di bawah kakinya. "Seperti ada yang tumbuh di sini, tapi bukan akar."
Nyuwa menghela napas, duduk di dekatnya. Ia menggenggam segenggam tanah dan membiarkannya luruh perlahan dari sela-sela jari.
"Itu tandanya kau sedang belajar memiliki hati," ucapnya pelan. "Dan di kampung ini, hati dibuat bukan dari daging, tapi dari tanah."