"Apakah... apakah itu legenda?" tanya Musamus.
"Dulu mungkin," jawab Pak Gala. "Tapi malam ini, bukan cerita. Ini nyata. Jejak itu muncul bukan karena tanah, bukan pula karena cahaya. Tapi karena keputusan."
"Keputusan siapa?"
"Keputusanmu, Musamus," jawab Pak Gala, matanya menatap lurus pada pemuda semut itu. "Kau telah memilih untuk mendengar angin, membaca hujan, dan tidak lari saat kabut datang. Tanah mengingat itu. Ia mencatat setiap langkah pemimpin yang tidak haus kekuasaan."
Musamus mundur setapak, bingung.
"Tapi aku bukan pemimpin."
"Belum," kata Pak Gala. "Tapi jejak tak pernah bohong. Mereka yang berjalan dengan hati akan meninggalkan terang bahkan ketika tubuh mereka tak lagi ada."
Angin malam menyapu wajah mereka. Dari kejauhan terdengar suara jangkrik, seperti lonceng kecil yang menandai waktu. Dan di antara gelap yang mendalam, jejak-jejak itu semakin jelas, seolah menyala untuk membimbing, bukan sekadar menerangi.
Nyuwa mendekatkan antenanya ke tanah. "Aku bisa merasakannya," katanya pelan. "Seperti ada hangat... seperti suara nenekku saat bercerita dulu."
Pak Gala tersenyum. "Itulah yang membedakan pemimpin dari penguasa. Pemimpin meninggalkan hangat. Penguasa hanya meninggalkan bayang."
Musamus terdiam lama. Malam di sekeliling mereka seperti menahan nafas. Ia menunduk, melihat jejak kakinya sendiri yang kini perlahan padam, seolah telah selesai menjalankan tugasnya.