Aku tidak pernah sungguh-sungguh menulis, jemari ini kaku,
Bukan pena yang menari di atas kertas yang bersahaja,
Sebab aksara takkan pernah mampu mewakili getar yang kurasakan.
Aku mendengarkan, dengan seluruh pori dan kedalaman jiwa,
Mencoba menangkap bisikan samar yang selalu berulang.
Sebuah janji sunyi yang terukir di batas kesadaran dan ilusi.
Dengar, ada melodi yang bergetar di ruang paling tersembunyi,
Rindu yang bersenandung di bawah kulit ini, murni dan tak terperi.
Ia bukan suara nyaring, tapi desah lembut yang tak pernah henti,
Menjadi penghuni tetap yang tak bisa ku usir apalagi ku sangkal.
Ia adalah denyutan halus, sebuah kehidupan di dalam kehidupan.
Sebuah panggilan purba menuju asal-muasal segala rasa.
Irama sunyi itu menyatu, dengan ritme yang paling alami,
Dengan irama denyut nadi yang menjaga detak dan alir darah.
Setiap thump adalah sebuah nama yang ku sebut tanpa suara,
Sebuah pengakuan bahwa kau adalah pusat dari segala energi.
Rasa ini tak butuh puisi, tak butuh kredo, hanya butuh pengakuan.
Bahwa hidup adalah jeda antara denyutan yang merindukanmu.
Saat sang surya merunduk, membiaskan jingga di tirai langit,
Saat bayangan memanjang dan dunia beranjak pada keheningan.
Di situlah keajaiban rindu mencapai puncak dramanya,
Senja bergelimang rindu yang tak lagi bisa ku sembunyikan.
Ia membanjiri cakrawala mata, memenuhi udara dengan aroma sepi.
Sebuah waktu pengakuan, di mana hati terpaksa jujur.
Lalu malam datang, menyelimuti alam dengan kain beludru gelap,
Membawa serta janji-janji yang tak terikat oleh realita kasat mata.
Malam bergelimang mimpi yang hanya menampakkan wajahmu,
Di sana, kita bertemu tanpa jarak, tanpa dinding, tanpa ragu.
Mimpi adalah ruang temu paling adil bagi jiwa-jiwa yang terpisah.
Aku hidup di sana, menanti fajar membawa lagi kesadaran.
Aku tidak pernah merasa perlu untuk membuat puisi tentangmu,
Sebab kata-kata terasa kerdil, terbatas, dan terlalu biasa.
Rasa ini terlalu besar untuk diringkas dalam baris dan bait,
Ia adalah keberadaan utuh, sebuah lautan yang tak bertepi.
Mencoba menulis adalah mencoba memenjarakan kebebasan.
Maka, biarlah kertas ini tetap putih, demi menghormati keagungannya.
Namun, aku menemukan diriku sebagai seorang penemu yang sunyi,
Aku berjalan dalam diri, melewati lorong-lorong memori dan hati.
Aku menemukannya, terukir di lapisan terdalam dari keberadaanku,
Bukan dibuat, tapi ditemukan seperti permata yang tak sengaja terkuak.
Ia telah ada, sebelum aku tahu cara mencintai, sebelum aku mengenalmu.
Sebuah takdir puitis yang tak terhindarkan, tak tertawar.
Puisi itu bersemayam di tempat yang paling intim dan terlindungi,
Tersembunyi di antara tulang rusuk yang menjaga organ vital.
Ia adalah udara yang ku hirup, detak yang menjaga kehidupanku tetap ada,
Sebuah struktur kokoh yang melindunginya dari pandangan dunia.
Hanya aku yang tahu letaknya, hanya aku yang bisa mendengarnya.
Ia adalah harta karun yang ku jaga dalam kesunyian abadi.
Ia adalah kekuatan yang menggerakkan setiap aliran darah dalam tubuh,
Dramanya sunyi, namun kekuatannya tak terhingga dan tak terbantahkan.
Terlalu kuat untuk diabaikan atau disingkirkan sebagai ilusi,
Ia berteriak tanpa suara, memanggil namamu dalam setiap hembusan.
Sebuah perintah batin yang harus ku patuhi dengan sepenuh jiwa.
Sebab mengabaikannya berarti mengabaikan alasan ku bernapas.
Rindu ini adalah kompas yang tak pernah menunjuk arah lain,
Ia selalu kembali ke titik nol, ke tempatmu berada, walau jauh.
Rindu yang kutunggu di tepian senja yang sama setiap harinya,
Menjadi janji abadi, bahwa tak ada waktu yang terlewat tanpa kehadiranmu.
Di sana, ku biarkan diriku larut dalam semburat jingga yang memudar.
Mengharap bayanganmu hadir, walau sebatas fatamorgana yang fana.
Aku merindumu bukan dengan teriakan atau permohonan yang keras,
Namun dengan kelembutan yang membalut setiap sudut hatiku yang pilu.
Seperti ombak yang membelai pantai, tanpa pernah memaksa pasir.
Rindu ini adalah bentuk tertinggi dari penerimaan yang sunyi.
Sebuah pengakuan bahwa kau adalah kepingan hilang yang takkan terganti.
Aku merindumu, dan kerinduan ini adalah rumahku.
Bait-bait puisi yang kutemukan adalah kebenaran yang sederhana,
Bahwa cinta tak perlu kata, ia hanya perlu diizinkan untuk mengalir.
Ia adalah sungai di bawah kulit, yang mencari jalannya sendiri,
Membawa segala yang ku rasakan menuju samudra dirimu yang luas.
Aku hanyalah wadah, dan rasa ini adalah air yang dititipkan.
Sebuah pelajaran tentang kerelaan dan keutuhan yang tak terbagi.
Kelembutan ini membalut luka yang tak ku sadari ku miliki,
Menjadikan setiap rasa sakit sebagai hiasan pada permadani indah.
Rindu adalah cara alam mengajarkan kita tentang ketiadaan dan keberadaan.
Kau tiada di mata, namun ada di setiap ruang dalam jiwa.
Paradoks yang lembut ini adalah kunci dari segala puisi yang sejati.
Sebuah pelukan sunyi yang tak butuh sentuhan fisik.
Maka, biarlah puisi ini menjadi udara yang mengembun,
Menjadi kabut yang menyelimuti batas antara aku dan engkau.
Aku takkan lagi mencoba menulisnya, aku hanya akan mendengarkannya.
Menghayati setiap getar nadi yang bersenandung di bawah kulit.
Menemukan maknanya di antara tulang rusuk yang menjaga rahasia.
Menjadi penjaga setia dari sebuah rindu yang tak terhindarkan.
Dan ketika fajar kembali menyingsing, membawa kesibukan dunia,
Aku akan tetap membawa irama denyut nadi ini bersamaku.
Ia adalah jimat, ia adalah pengingat, ia adalah kekuatan.
Bahwa ada keindahan yang tersembunyi, tak terlihat namun sangat nyata.
Sebuah cinta yang bersemi dalam kebisuan yang tak terucapkan.
Menanti senja lagi datang, untuk merayakan rindu yang sama.
Ini bukan akhir, ini adalah keabadian dari sebuah penemuan,
Bahwa dirimu adalah puisi yang telah lama ku cari, dan ku temukan.
Ia takkan pernah selesai, selama nadi ini masih berdetak,
Selama malam masih menjanjikan mimpi tentang kehadiranmu.
Aku adalah pendengar abadi dari rindu yang takkan pernah mati.
Dan kau adalah melodi yang selalu menjadi alasanku bernapas.
||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Pelalan, 14 Oktober 2025||
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI