Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi || Senja Tanpa Sauh

9 Oktober 2025   20:30 Diperbarui: 9 Oktober 2025   20:30 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sudut sunyi, hatiku berbisik pelan,

Memahat sebuah pagi yang tak ada dirimu.

Bukan lagi ruang yang sesak dalam penantian,

Namun lembar baru, di mana aku kan bertamu

Pada diriku sendiri, yang lama terabaikan.

Telah kuhidupkan api di tungku harap,

Bukan untuk menghangatkan kembali kenang yang lalu,

Namun membakar habis sisa-sisa cemas yang merayap,

Tentang janji yang tak sempat berujung temu.

Kini harap itu tunggal, tak butuh tanggap.

Aneh, entah mengapa rasanya jauh lebih tenang.

Seperti perahu yang melepas sauh di pantai,

Tak lagi gelisah diterjang ombak atau bayang-bayang,

Kehilangan arah atau karam dalam sesal yang landai.

Hening ini adalah hadiah, setelah badai.

Dulu, setiap helai napas adalah doa untukmu,

Cemas menjelma tirai yang menutup pandang.

Takut menjadi jurang, tempat hati kan jatuh,

Jika tiba-tiba kau berpaling, atau menghilang.

Kini, tak perlu takut lagi akan dipatahkan.

Karena apa yang rapuh telah kuizinkan jatuh,

Kepingan itu kusapu, bukan untuk disambung.

Namun dijadikan pasir, bekal pijakan yang teguh.

Di sana, di ketiadaanmu, hatiku menemukan untung,

Sebuah kemerdekaan dari ketakutan yang merundung.

Segala yang didamba, yang dirangkai dalam khayal,

Ternyata hanyalah fatamorgana di padang gersang.

Tidak ada yang benar untuk ditunggu dalam sesal,

Karena waktu tak pernah menunggu siapa pun untuk pulang.

Ia hanya terus berjalan, membawa kita ke ujung batas bekal.

Pertemuan, seindah apa pun ia terukir,

Hanyalah jeda singkat dalam skenario semesta.

Perpisahan, sedalam apa pun ia mengukir getir,

Adalah babak yang harus ditutup tanpa sengketa.

Semua sudah tertulis, tak perlu air mata bergulir.

Baik datang atau pergi, tersemat di kalender takdir,

Masing-masing sudah ada waktunya yang pasti.

Tugas kita hanyalah menjalani, menjadi pengukir

Jejak di bumi, dengan hati yang lebih mandiri.

Bukan menunda takdir, hanya karena takut tergelincir.

Maka, kusudahi segala gundah dan pertanyaan,

Tentang mengapa kisah ini tak berakhir abadi.

Semua adalah proses, semua adalah pelajaran,

Tentang sebuah hati yang akhirnya mengerti diri.

Memeluk sunyi adalah sebentuk pembenaran.

Tidak ada pula yang perlu disalahkan lagi,

Pun juga aku, yang dulu pernah terlalu mencinta.

Kita hanyalah dua jiwa yang singgah di satu pagi,

Lalu menempuh jalan berbeda tanpa sisa kata.

Biarlah masa lalu menjadi puisi yang usai.

Namun, perihal perpisahan, tetaplah sebuah seni,

Yang sering kali gagal dipraktikkan manusia.

Ada yang memilih menghilang tanpa permisi,

Meninggalkan luka menganga, tanpa jeda, tanpa rima.

Sebuah akhir yang tak sempat terucap di hati.

Terkadang tidak semua orang mampu melakukannya dengan benar,

Melepas genggaman tangan dengan senyum tulus yang rela.

Alih-alih jujur, mereka memilih menghujani kabar samar,

Membuat pihak lain terombang-ambing dalam tanya dan lara.

Menutup buku tanpa tanda titik, hanya koma bergetar.

Biarlah kepergianmu yang tak sempurna itu,

Menjadi kado pahit yang menguatkan raga.

Aku tak perlu menuntut kata maaf atau penyesalanmu,

Karena kedamaian ini jauh lebih berharga.

Luka itu kini menjadi guratan yang membiru.

Aku memilih beranjak dari bayang-bayangmu,

Membawa bekal ketenangan, bukan dendam yang membara.

Merawat harapan yang kini milikku seutuhnya, bukan milikmu.

Bukan lagi berdua, namun aku dan semesta.

Aku telah pulang ke diriku, yang dulu hilang.

Di jalan sepi yang baru, langkahku terasa ringan,

Tak ada lagi beban cemas yang harus kupanggul.

Ini adalah ikhlas yang tak lagi mencari balasan,

Hanya menerima takdir sebagai sesuatu yang utuh.

Aku mulai menghidupi harapan yang tidak ada kamu di dalamnya,

Dan itu, adalah keindahan sejati yang baru kuraih.

Di penghujung senyap ini, aku menemukan makna baru dari kebebasan. Bukanlah sebuah kekosongan, melainkan kanvas lapang tempat aku bisa melukis takdir sendiri, tanpa perlu izin atau takut akan robek. Inilah babak di mana aku merayakan diriku, menerima bahwa tak semua kisah harus berakhir di pelabuhan yang sama.  Dan dalam ketenangan yang baru ini, aku tahu bahwa langkah ke depan, meski sepi tanpa jejakmu, adalah langkah yang paling jujur dan paling damai yang pernah kugapai.

||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Pelalan 09 Oktober 2025||

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun