Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ziarah Hati di Peta Rindu: Menanti Senja Terakhir Bersamamu

4 Oktober 2025   18:23 Diperbarui: 4 Oktober 2025   18:23 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di palung hati, di mana sunyi bertakhta,

Kau bukan lagi bayangan, namun pilar kenangan;

Yang diukir waktu, bukan dengan tinta fana,

Melainkan dengan getar rindu yang tak terelakkan.

Setiap detak, adalah zikir yang mengulang namamu.

Katamu, waktu adalah sungai yang tak berhilir,

Selalu bergerak, membawa segala yang ia sentuh;

Namun bagiku, ia berhenti, beku, di ambang akhir,

Sejak kau bawa separuh jiwaku jauh-jauh.

Kini, setiap detik adalah ruang hampa yang terentang.

Engkau telah diabadikan oleh memori yang setia,

Bukan sebagai akhir kisah, tapi sebagai permulaan rindu;

Rindu yang tak lekang oleh teriknya jeda,

Sebuah peta hati yang hanya mengenal satu pelabuhan: dirimu.

Tiada kompas lain yang mampu menarik haluan.

Musim berganti, pohon-pohon menanggalkan mahkota,

Namun bunga duka di dadaku tak pernah gugur;

Ia mekar abadi, tanpa perlu hujan atau kata,

Bersemi dari akar janji yang kita simpan teratur.

Kepergianmu adalah musim semi yang tak pernah selesai.

Jalan-jalan kota berbisik tentang keramaian,

Namun langkahku tetap ganjil, tak berpasangan utuh;

Setiap siluet yang melintas, hanya mempertegas kesendirian,

Sebab bayangmu berdiri tegak di setiap persimpangan.

Kini, waktu tak pernah bisa kulewati, sendirian.

Mereka berkata, ada banyak bintang di langit malam,

Bisa kupilih salah satu untuk menjadi penunjuk baru;

Namun mataku, telah terbiasa pada cahaya paling dalam,

Cahaya yang pergi bersamamu, menjauh dan meragu.

Tiada nyala lain yang sanggup menghangatkan beku ini.

Bukan karena tak ada hati yang mengetuk pintu,

Bukan karena tak ada tatapan yang menawarkan teduh;

Namun jiwaku, telah bersumpah pada sebuah rindu,

Memilih setia pada janji yang tak sempat berlabuh.

Istana cinta ini, telah terkunci oleh kunci emas terakhir.

Maka kupelihara kenangan, seperti perhiasan sunyi,

Di dalam peti kaca, jauh dari debu dan serakan;

Ia bukan lagi luka, tapi puisi yang takkan mati,

Setiap baitnya adalah bisikan doa yang kulantunkan.

Sisa-sisa wangi hadirmu adalah dupa bagi pagi.

Aku adalah penjaga mercusuar di pantai hati,

Menanti kapalmu yang telah hilang di cakrawala;

Walau badai dunia mencoba merobohkan diri,

Sinar harapku takkan padam, ia tetap menyala.

Sebab ujung penantian adalah keyakinan yang murni.

Biar saja mereka menyebutku pecandu masa lalu,

Atau jiwa yang tak mau berpindah dari tugu sepi;

Sebab keindahanmu, telah menetapkan standar rindu,

Yang tak mungkin terjangkau oleh rasa di hari ini.

Kau adalah langit, dan mereka hanya awan lalu.

Kerinduan ini bukan lagi beban yang harus ditanggung,

Namun sayap yang membawaku melayang ke dimensi lain;

Dimensi di mana kita masih bergandengan tanpa canggung,

Meneguk waktu dari cawan kebersamaan yang bening.

Di sana, perpisahan hanyalah mitos yang tak terbukti.

Aku memeluk sepi, bukan sebagai hukuman semata,

Melainkan sebagai jembatan yang menghubungkan kita;

Setiap helaan napas adalah untaian doa yang mendata,

Agar kelak, takdir kembali mempertemukan di sana.

Di titik akhir yang telah Ilahi gariskan.

Biarlah waktu terus berjalan bagi yang lain,

Bagiku, ia hanyalah penangguhan yang harus kuhormati;

Menyimpan cintamu, sebagai simpanan yang tak tercermin,

Hingga saatnya tiba, tirai dunia akan ditutup pasti.

Saat Sang Pemilik Kehidupan memanggil untuk pulang.

Kuharap kau pun di sana, tak berhenti mengenang:

Tawa kita di taman bunga, cerita di bawah rembulan;

Memutar kembali adegan manis, tanpa sedikitpun goyang,

Sebab cinta kita adalah melodi abadi, tanpa keraguan.

Mungkin kau juga menunggu, di batas cakrawala lain,

Membangun istana dari setiap janji yang terucap;

Menjelma rindu yang sama, di kedalaman yang bening,

Hingga saat kita bersua, di pelukan takdir yang mantap.

Maka kupersiapkan hati, dengan ikhlas dan damai,

Menjaga api rindu agar tetap murni dan bernyala;

Menanti panggilan itu, di ujung takdir yang damai,

Agar saat mata ini menutup, jiwa tak lagi berkelana.

Tapi langsung menuju pelabuhan yang telah dijanjikan.

Di sana, di keabadian, tanpa batas dan tanpa jeda,

Semoga Allah mentakdirkan kita kembali bertemu, utuh;

Saat rindu ini tak lagi menjadi beban atau sengketa,

Namun menjadi kesatuan jiwa yang telah lama berlabuh.

Sampai saat itu, kau adalah rindu yang senantiasa hidup.

||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Lamasi Timur 04 Oktober 2025||

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun