Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 20

23 Juni 2025   18:43 Diperbarui: 24 Juni 2025   13:32 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 20: Pelindung Tanpa Mahkota

Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, dan Prolog Bagian 2.

Enam bulan terasa seperti seumur hidup. Enam bulan sejak api dan air, tanah dan angin bersatu untuk meruntuhkan tirani Willem van der Kraan di jantung Sunda Kelapa. Enam bulan sejak seorang ratu kehilangan kerajaannya, seorang pemuda kehilangan kemanusiaannya, dan dua pejuang menemukan tujuan di tengah puing-puing dendam.

Kini, di bawah terik matahari yang menggantung di langit biru pucat di atas dataran subur Jawa Tengah, mereka adalah sesuatu yang baru. Bukan lagi tentara, bukan pangeran, bukan pula ratu. Mereka adalah pengelana, bisikan di warung-warung kopi, legenda yang berjalan di antara rakyat jelata. Mereka adalah para Pelindung Tanpa Mahkota.

Desa Candi Asri seharusnya menjadi surga kecil. Hamparan sawah teraseringnya menghijau bagai zamrud cair, memantulkan bayangan Gunung Merapi yang berdiri gagah di kejauhan. Saluran irigasi yang jernih mengular di antara petak-petak padi, suaranya gemericik menenangkan, menjadi musik latar bagi kehidupan desa yang damai. Rumah-rumah panggung berdinding anyaman bambu (gedhek) berderet rapi, dinaungi atap genting tanah liat yang warnanya telah memudar karena usia, menyatu dengan alam sekitarnya. Di pusat desa, sebuah pohon beringin raksasa yang usianya ratusan tahun menaungi alun-alun kecil, akarnya yang menggantung seperti janggut seorang pertapa tua.

Namun hari ini, kedamaian itu pecah. Udara yang biasanya beraroma tanah basah dan bunga kamboja kini tercemar bau keringat, arak murahan, dan ketakutan.

Di bawah pohon beringin itu, sekitar lima belas orang bandit, berpakaian compang-camping namun bersenjatakan parang dan golok yang berkilauan, sedang menertawakan penderitaan para penduduk desa. Pemimpin mereka, seorang pria kekar dengan bekas luka melintang di pipi dan mengenakan rompi kulit usang, menendang sebuah keranjang berisi hasil panen hingga isinya tumpah ke tanah. Ia dikenal sebagai Demang Jaliteng, seorang kepala daerah yang dipecat VOC karena dianggap tidak kompeten, dan kini menyalurkan frustrasinya dengan memeras rakyat yang seharusnya ia lindungi.

"Hanya segini?" bentak Jaliteng, suaranya serak. "Kalian pikir keringat kami tidak ada harganya? Kami melindungi kalian dari Kompeni, dan ini balasan kalian?"

Kepala desa, seorang kakek tua bernama Ki Sastro, bersujud di tanah. "Ampun, Demang. Musim kemarau ini panjang. Sawah kami banyak yang gagal panen. Hanya ini yang kami punya."

"Bohong!" Salah satu anak buah Jaliteng menempelkan ujung parangnya ke leher seorang pemuda desa. "Kalau kami geledah lumbung kalian, pasti masih banyak isinya!"

Penduduk desa hanya bisa gemetar. Mereka adalah petani dan perajin, bukan petarung. Melawan berarti mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun