Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Membunuh Vira

5 Februari 2016   08:44 Diperbarui: 5 Februari 2016   09:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  ilustrasi

Ia datang setiap malam selama setahun terakhir ini sejak kematiannya. Gentayangan serupa hantu Flying Dutchman. Sungguh, bentuk dan kelakuannya seperti itu. Ia hanya tak memakai topi bajak laut saja. Seperti Flying Dutchman, ia muncul dan hilang begitu saja. Membuatku takut, dan tertekan.

“Berhentilah, tolong,” pintaku padanya ketika ia tiba-tiba muncul lagi malam ini dan duduk dengan tengil di atas kubah lampu tidur yang menempel di dinding. Kau tak akan kehabisan rasa heran melihatnya bisa duduk di situ, meski kau tahu bahwa ia hantu.

Ia terkekeh jelek. Sepertinya kata-kataku tadi lucu sekali. Entahlah, apa ia tahu bahwa kemunculannya saja sudah membuatku takut, apalagi tawanya yang seperti peri kuburan.

“Aku juga memintamu untuk berhenti, bukan? Berapa kali aku memohon padamu agar kau berhenti? Ratusan kali, Ana,” sahutnya sambil terkekeh, tapi lalu secara tiba-tiba ia menangis menyayat-nyayat.

“Tak bisakah kau memaafkanku?” aku bertanya.


Tangisnya berhenti, sekarang matanya merah nyalang dan memandangku dengan tajam, dan tiba-tiba ia hilang lagi. Jantungku memacu dengan sekerasnya dan aku berharap ia tak muncul lagi. Pergilah ke neraka, baik-baik di sana!

Hingga berapa lama ia tak muncul lagi. Aku sedikit lega meski ketakutanku tak hilang sama sekali. Sewaktu-waktu ia akan muncul lagi. Selimut kutarik untuk menutupi seluruh bagian dari tubuh dan wajahku sambil memejamkan mata beberapa lama, sampai kemudian aku tak bisa menahan diri untuk membukanya.

Wajahnya yang pucat tiba-tiba sudah muncul lagi tepat di depan hidungku dan tersenyum menyeringai. Entah kapan ia menyusup masuk ke dalam selimutku. Aku menjerit sekuat-kuatnya dan melompat dari tempat tidur.

“Berhentilah, Vira, kumohon, katakan apa yang harus kulakukan agar kau berhenti?”

“Tidak ada Ana. Aku hanya ingin melakukan apa yang selama ini kamu lakukan. Merundung teman yang sedikit pun tak bersalah padamu. Hanya karena aku berkaca mata tebal, bertampang bloon, kikuk, punya tas yang sama denganmu, sekelas denganmu dan guru tak mau memindahkanku ke kelas lain seperti permintaanmu,” kata Vira sambil bersedekap tangan dan melayang-layang. “Aku hanya ingin melampiaskan kebencian seperti yang kamu lakukan padaku.”

“Aku takut sekali, Vira. Berhentilah, aku akan mengakui pembunuhan yang kulakukan padamu. Aku ikhlas dipenjara berapa pun lamanya sebagai hukuman,” kataku.

Vira melayang berputar-putar. Tawanya terus terdengar dan semakin lama semakin terasa menakutkan dan membuatku merasa gila.

“Jika ayahmu adalah seseorang dari jenis ksatria, akan ada gunanya kau mengakui itu, ayahmu akan menuntunmu untuk bertanggung jawab atas dosamu dengan cara ksatria. Tapi sayang, ayahmu hanya sejenis pengecut yang celakanya, adalah pejabat yang korup dan kaya raya. Kau sudah tak mengakui itu dan ayahmu sudah mengeluarkan uang untuk polisi, hakim, jaksa, dan pengacara agar bersepakat membebaskanmu dari tanggung jawab. Jadi, walaupun sekarang kau berteriak-teriak mengakui dosa yang kau lakukan padaku, ayahmu, polisi, hakim, jaksa, dan pengacara itu tak akan mau malu untuk membuka kesepakatan jahat itu. Mereka akan membuatmu tetap tak berdosa, Ana. Karena mereka ikut berbuat dosa.”

Hantu Vira melayang mendekat padaku, “percuma, dan karena percuma itulah maka aku memilih untuk datang menemanimu setiap malam. Kita bisa berteman, bukan? Mungkin saja kau menyesal telah memperlakukanku demikian buruk semasa aku hidup. Kau bisa memperbaikinya mulai sekarang jika kau mau.”

“Tidak, berhentilah datang, aku akan mengakui semua perbuatanku pada polisi!”

Vira terkekeh lagi dengan tawa jelek yang menakutkan.

“Kau menyedihkan, Ana. Yang tampak ini adalah dosamu sendiri. Sudah kukatakan, andai saja ayahmu bukan sejenis pengecut, ia akan membebaskanmu dari dosa yang menghantuimu ini. Sayang, ia tak sadar jika ia sedang menyiksa anak gadisnya sendiri karena kebodohan dan kepengecutan yang tak disadarinya.”

“Kumohon, Vira. Berhentilah datang padaku. Aku akan bicara dengan ayah.”

“Ayahmu itu tampak agung, Ana. Tak ada yang tahu dia memiliki rahasia keburukan yang menyedihkan. Kau akan memaksanya untuk membuka topeng?”

Aku terdiam.

“Tak ada pilihan, ya? Kau tega membuka topeng ayahmu hanya agar aku tak datang padamu? Atau kau biarkan ayahmu tetap agung tapi anak gadisnya tersiksa setiap malam karena terus didatangi hantu bayangan dosanya?”

“Diam kau, Vira! Aku akan meminta ayahku untuk memanggil paranormal agar kau diusir dengan paksa, atau mereka memasukkanmu ke dalam botol dan membuangmu ke laut!” rutukku sengit. Ketakutanku hilang seketika oleh rasa marahku.

Vira terkekeh keras dan panjang. Dan, jelek sekali.

“Orang-orang seperti itu akan senang hati dipanggil ayahmu. Apa pun akan mereka lakukan demi uang ayahmu, terutama membuat ayahmu percaya pada apa kata mereka, bukan pada apa yang bisa mereka lakukan. Mereka bisa mengusir hantu atau memindahkan hantu. Tapi kau akan bisa melihat apakah mereka bisa menghilangkan hantu bayangan dosamu agar berhenti mengejarmu. Aku adalah bayangan dosa yang menghantuimu, bukan hantu penunggu kamarmu!”

“Tidaaaaaaakkkkk!!!!!”

“Pergiiiii!”

“Pergiiiii!”

Pintu digedor keras-keras dari luar.

“Ana!”

“Ana!”

Aku berlari ke pintu dan ketika kubuka aku mendapati ayah yang  dengan segera kupeluk.

“Aku takut, ayah.”

“Kenapa, nak?”

“Aku ingin tidur dengan ayah dan ibu!”

“Ada apa?”

------

Tiga orang lelaki dengan pakaian parlente itu melakukan sesuatu – yang tak lazim untuk dilakukan orang-orang dengan pakaian yang demikian – di kamarku. Seharusnya mereka memakai baju hitam seperti pendekar silat dan kain ikat di kepala sambil membawa tungku berisi kemenyan yang dibakar.

Gerakan mereka seperti tarian liar dan mata mereka masing-masing terpejam. Mereka adalah paranormal terkenal yang dipanggil ayahku atas permintaanku untuk mengusir hantu yang beberapa malam ini mengganggu di kamarku. Aku hanya tak mengatakan bahwa itu adalah hantu Vira, teman sekolahku yang kubunuh bersama dua temanku dengan cara menjejalkan gumpalan tisu di tenggorokannya.

Aku menantinya dengan berdebar-debar sambil berharap bahwa hantu keparat itu bisa mereka tangkap atau setidaknya mereka cegah kemungkinannya untuk datang lagi.

Satu menit, dua menit, satu jam, dua jam, mereka terus melakukan ritualnya. Saling bercakap dengan suara yang aneh dan seperti terlibat pertengkaran. Akhirnya mereka tampak ribut dan saling bergumul serta saling menindih. Kemudian salah seorang dari mereka seperti memegang sesuatu dengan kedua tangannya, sementara seorang lain tampak seperti berjaga-jaga dengan merentangkan kedua tangannya, dan seorang yang terakhir bangkit memegang sebuah botol dan membuka tutupnya.

Orang pertama yang terlihat menangkap sesuatu tadi melakukan gerakan seperti memasukkan sesuatu yang ditangkap dan dipegangnya erat-erat itu ke dalam botol, lalu orang kedua melakukan gerakan seperti ikut menekan. Sesuatu yang sedang coba dimasukkan ke dalam botol itu sepertinya sulit sekali, sampai-sampai orang kedua terjungkal berkali-kali dan keringat membasahi tubuh mereka bertiga.

Aku, ayah, dan ibu tegang melihatnya. Aku yakin, Vira sedang meronta-ronta tak mau dimasukkan ke dalam botol.

‘Pergilah kau ke laut!’ rutukku dalam hati. Mulai malam nanti, aku akan bisa hidup tenang tanpa gangguan hantu Vira laknat itu.

Akhirnya orang ketiga menutup botol itu erat-erat dan melakukan gerakan menyembah sambil menarik nafas panjang. Sekarang mereka tampak kelelahan dan berjalan mendekati ayah, ibu, dan aku.

“Kekuatannya sungguh luar biasa, Pak, Bu. Kami hampir dibuat kewalahan, tapi akhirnya kami bisa memaksanya untuk kami pindahkan,” kata orang yang tadi menangkap ‘hantunya’.

“Syukurlah,” kata ayah, “sudah beberapa malam saya mendengar sendiri anak saya berteriak-teriak ketakutan. Saya pikir tadinya hanya mimpi, tapi ternyata memang ada yang mengganggu anak saya di kamarnya.”

“Sekarang sudah tak ada lagi yang akan mengganggu anak Bapak. Kami akan memindahkannya ke tempat yang diinginkan si pengganggu ini,” kata orang kedua.

“Tapi memang mahar yang dimintanya besar sekali,” kata orang pertama lagi.

“Tak apa, yang penting gangguan itu bisa disingkirkan,” kata ayah lagi. Benar, ayah, berapa pun yang penting bisa untuk mengenyahkan Vira jauh-jauh dariku. Tidak hidup, tidak mati, anak jelek itu terus membuatku kesal dan takut.

Ayah mempersilakan mereka keluar dari kamarku dan kembali ke ruang depan. Aku mengikuti mereka ke depan karena aku ingin memastikan bahwa mereka memang baru saja menangkap hantu Vira dan akan memindahkannya entah ke mana.

Rupanya masih ada beberapa ritual lagi yang mereka lakukan di ruang depan. Kata mereka untuk memberi pagar agar tak ada lagi hawa jahat yang memasuki rumah. Kedatangan tiga orang paranormal itu membuatku merasa tenang. Mereka pergi dengan botol berisi hantu Vira dan, uang. Yang sepertinya banyak sekali.

“Berapa yang mereka minta, Yah?” tanya Ibu.

“Mahal sekali, tiga ratus lima puluh juta!” bisik ayah menahan geram. Aku sendiri terkejut. Begitu saja tiga ratus lima puluh juta? Hanya menari-nari seperti kesurupan begitu?

“Yang mahal adalah harga minyak yang setan itu minta katanya, ratusan juta,” kata ayah lagi. “Lagipula tarif mereka memang paling tinggi.”

“Kenapa sih, harus sebanyak itu?” Ibu tampak kurang lega.

“Yang penting anakmu bisa tenang, Bu. Kau sendiri lupa berapa harga tas-tasmu yang tak seberapa besar itu, atau perhiasan-perhiasanmu? Cukup untuk membangun jalan dan jembatan!”

“Dan kau mengambilnya dari dana membuat jalan dan jembatan, bukan?” tukas Ibu.

Aku diam. Perkataan ayah dan ibu tentang uang yang seperti itu sudah biasa kudengar, tapi sekali ini terasa mengusik di hatiku. Betapa mudahnya urusan uang buat mereka. Kebebasanku dari dosa pada Vira pun ditebus ayah dengan uang-uang serupa yang diberikan tiga paranormal itu.

------

Mulanya aku ragu ketika kembali memasuki kamarku, tapi sampai jauh malam, aku merasakan ketenangan. Benar, tiga paranormal itu sudah memenjarakan hantu Vira dalam botol mereka. Saat ini tentu dia sedang sekarat karena tak bisa bernafas.

Persetan dengan Vira, persetan dengan dosa, persetan dengan cara apa ayah mendapatkan uang untuk itu semua. Kenyataannya adalah, uang membawa kebebasan hidup.

“Matilah kau, hantu jelek!” umpatku menuruti rasa puas di hatiku.

“Aku di sini!”

Aku terlonjak dari dudukku. Hantu Vira melayang-layang mengitariku.

“Kau?”

“Kenapa? Kau tampak heran, seperti belum pernah melihatku saja?”

“Bukankah orang-orang itu sudah memenjarakanmu ke dalam botol?”

Hantu Vira melayang mendekat padaku, “orang-orang itu? memasukkanku dalam botol?”

Hantu Vira terkekeh lagi dengan lebih jelek dari semalam.

“Ayahmu itu bukan hanya seorang pengecut, tapi juga penipu yang payah. Kukatakan begitu karena dia mau saja dibohongi orang-orang itu. Kau pikir aku tak tahu apa yang mereka kerjakan di sini siang tadi?”

Vira melayang mundur dan wajahnya masuk dalam bingkai foto yang tergantung di dinding. Menjadi seperti foto Vira menggantung di sana.

“Mereka yang kalian percaya punya kemampuan melihat setan itu bahkan tak melihatku berdiri di dekat mereka. Mereka hanya berpura-pura seakan sedang berbicara dengan setan, membujuknya untuk pergi, dan pura-pura menangkap setan itu lalu memasukkan dalam botol. Gila, mereka menipu kalian,” kata hantu Vira yang terbingkai itu.

“Mereka datang hanya untuk uang, bukan menolon kalian. Buktinya, aku masih di sini, bukan? Oh, alangkah mahalnya yang harus dibayar ayahmu. Mereka bilang setannya minta minyak yang mahal?” hantu Vira terkekeh lagi dengan lebih hebat dan jelek. Sekarang ia melayang lagi dan masuk ke dalam guci besar di pojok kamar. Jadilah guci itu sekarang berkepala dan bergerak melonjak-lonjak ketika hantu yang memasukinya tertawa-tawa.

“Ibumu kelihatannya keberatan tadi. Tentu karena ia masih mengincar berlian atau permata,”

“Pergi!”

“Paranormal-paranormal itu tak lebih hebat darimu, buktinya mereka tak bisa melihatku, padahal kau melihatku.”

“Pergi, kumohon, pergi...” aku terduduk di lantai

“Betapa pun saktinya, mereka tak akan bisa melihatku, karena aku bukan hantu bayangan dosa mereka. Mereka punya hantu bayangan dosa mereka sendiri yang tak akan bisa dilihat orang lain. Tak ada yang bisa mengusir hantu bayangan dosa kecuali kau bisa berdamai dengan kejujuran.”

“Aku akan mengakuinya, aku akan bicarakan yang sebenarnya pada ayah dan ibu, pada polisi, bahwa akulah yang melakukan pembunuhan itu. Aku yang membunuhmu.”

“Apakah ayahmu bisa berdamai dengan kejujuran yang akan terasa pahit dan memalukan itu? Jika bisa, kau akan terbebaskan, tapi jika tidak, kau akan seperti itu seumur hidupmu!”

“Kenapa tergantung pada ayahku? Bukankah aku yang bersalah?”

“Karena ayahmu tak akan rela tercoreng, meski sebenarnya wajahnya penuh coreng moreng!”

“Tolonglah, aku...”

“Aku tak bisa menolongmu, hanya kau yang bisa menolong dirimu sendiri!”

“Pergi! Kau banyak bicara!” teriakku.

Hantu Vira melontarkan dirinya dari dalam guci dan kembali melayang-layang, tenggelam di tembok dan kemudian muncul lagi.

“Pergi!”

“Pergi!”

“Pergi!”

Kulemparkan semua benda yang bisa kuraih pada hantu Vira yang melayang mengitariku.

“Pergiiiiiiii!”

Pintu kamarku digedor lagi dari luar, tapi kekalutan sudah merasuk dan meresap dalam hatiku.

“Ana!”

“Ana!”

Aku mengamuk sejadi-jadinya melemparkan segala sesuatu kepada hantu Vira. Aku merasa tubuhku ditangkap oleh banyak tangan. Aku berteriak menunjukkan pada mereka hantu Vira yang menggangguku. Terus menggangguku dengan melayang mengitariku tanpa takut walaupun aku merasa ada ayah dan ibu, dan ada banyak lagi orang di sekitarku.

Vira menjulurkan lidah, menyeringai, memelototkan kedua matanya hingga seperti terdesak keluar dari kelopaknya. Ia terus begitu sampai kemudian sebuah pertanyaan terdengar di telingaku.

“Apa yang terjadi, Ana?”

......

“Aku membunuhnya, aku membunuh Vira, aku membunuh Vira!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun