“Kenapa, nak?”
“Aku ingin tidur dengan ayah dan ibu!”
“Ada apa?”
------
Tiga orang lelaki dengan pakaian parlente itu melakukan sesuatu – yang tak lazim untuk dilakukan orang-orang dengan pakaian yang demikian – di kamarku. Seharusnya mereka memakai baju hitam seperti pendekar silat dan kain ikat di kepala sambil membawa tungku berisi kemenyan yang dibakar.
Gerakan mereka seperti tarian liar dan mata mereka masing-masing terpejam. Mereka adalah paranormal terkenal yang dipanggil ayahku atas permintaanku untuk mengusir hantu yang beberapa malam ini mengganggu di kamarku. Aku hanya tak mengatakan bahwa itu adalah hantu Vira, teman sekolahku yang kubunuh bersama dua temanku dengan cara menjejalkan gumpalan tisu di tenggorokannya.
Aku menantinya dengan berdebar-debar sambil berharap bahwa hantu keparat itu bisa mereka tangkap atau setidaknya mereka cegah kemungkinannya untuk datang lagi.
Satu menit, dua menit, satu jam, dua jam, mereka terus melakukan ritualnya. Saling bercakap dengan suara yang aneh dan seperti terlibat pertengkaran. Akhirnya mereka tampak ribut dan saling bergumul serta saling menindih. Kemudian salah seorang dari mereka seperti memegang sesuatu dengan kedua tangannya, sementara seorang lain tampak seperti berjaga-jaga dengan merentangkan kedua tangannya, dan seorang yang terakhir bangkit memegang sebuah botol dan membuka tutupnya.
Orang pertama yang terlihat menangkap sesuatu tadi melakukan gerakan seperti memasukkan sesuatu yang ditangkap dan dipegangnya erat-erat itu ke dalam botol, lalu orang kedua melakukan gerakan seperti ikut menekan. Sesuatu yang sedang coba dimasukkan ke dalam botol itu sepertinya sulit sekali, sampai-sampai orang kedua terjungkal berkali-kali dan keringat membasahi tubuh mereka bertiga.
Aku, ayah, dan ibu tegang melihatnya. Aku yakin, Vira sedang meronta-ronta tak mau dimasukkan ke dalam botol.
‘Pergilah kau ke laut!’ rutukku dalam hati. Mulai malam nanti, aku akan bisa hidup tenang tanpa gangguan hantu Vira laknat itu.