Mohon tunggu...
Zein Maestro
Zein Maestro Mohon Tunggu... Lainnya - Pria bersahaja dengan segala kesederhanaan

Sukses tanpa penderitaan laksana perahu di atas daratan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Kang Santri

11 Mei 2020   00:09 Diperbarui: 13 Mei 2020   18:50 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebelum itu semua terjadi, Kang Zein adalah sosok santri yang terbilang cepat dalam menghafalkan syair, jika dibandingkan dengan yang lainnya. Tak jarang ia mendapat pujian dari teman-temannya. Bahkan, kekuatan dan kecepatan hafalannya juga sudah diakui oleh para gurunya. Di saat yang lain baru mulai menghafalkan pelajaran yang akan disetorkan hari ini, ia sudah memiliki hafalan pelajaran yang akan disetorkan lusa. Tentu saja ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri yang dimilikinya.

"Kang Santri, sangat sulit menjaga hafalan syair ini saat kalian di rumah nanti. Siapkan waktu khusus dalam sehari untuk mengulang kembali hafalan ini." Pesan Mbah Yai kepada para santri kelas akhir. Benar saja, apa yang pernah disampaikan beliau akhirnya terbukti. Sulit rasanya membagi waktu antara mengulang hafalan dan menyelesaikan tugas kuliah. Belum lagi ditambah rasa malas yang datang tak kenal waktu.

Sedih, kecewa, marah, dan hampir putus asa. Semua berkumpul menjadi satu dalam sanubarinya. Tak ada yang harus disalahkan selain diri sendiri, perasaan bangga yang dahulu ada seakan lenyap dan musnah. Semua berubah menjadi kekecewaan yang tiada tara dan penyesalan yang begitu mendalam karena telah melanggar dan tidak menjalankan pesan dari Mbah Yai.

Kini, hafalan-hafalan syairnya telah sirna. Kitab-kitab syair yang ada di ruangan itu, tidak lebih dari sekedar kitab yang tersusun sejajar dengan buku pelajaran kuliahnya. Tak ada yang istimewa dari semua itu, selain hanya sebatas koleksi dan pajangan semata. Terlintas di dalam hatinya, "Ini adalah murni kesalahanku, bukan karena lantaran aku pernah menolak permintaan Ibu waktu itu."

Tak mau larut dalam kesedihannya, segera ia tata ulang kembali beberapa koleksi kitab dan bukunya itu. Seketika pandangannya tertuju pada sebuah kitab yang sudah agak lusuh dan sedikit kusam, terletak di bagian bawah rak kitab yang jarang sekali tersentuh dan berada di barisan paling kanan.

Perlahan mulai disingkirkan kitab yang lainnya agar mudah mengambilnya, dibersihkan sedikit debu yang menempel di kitab itu dengan kain pembersih. "Sepertinya, aku tidak pernah punya kitab dengan model seperti ini." Ucapnya sambil membersihkan kitab itu. Setelah debu di kitab itu hilang, dengan rasa penasaran dan penuh tanda tanya, ia mulai membuka halaman pertamanya untuk mencari dan memastikan siapa sebenarnya pemilik kitab ini.

Sungguh tak disangka dan tak diduga, betapa sangat terkejut dan kagetnya, ketika tertulis jelas nama almarhum Kakeknya di halaman pertama kitab itu. "Kenapa bisa ada di sini, bukankah ini adalah pusaka peninggalan dari Kakek yang diberikan kepada Ibu?" ucapnya seraya bertanya kepada keadaan yang semakin membingungkan. Terlintas dalam benaknya, ingin segera menemui Ibu untuk meminta penjelasan atas apa yang sebenarnya pernah terjadi. Namun, hatinya masih ingin tetap melanjutkan ke halaman selanjutnya.

Tidak seperti kitab pada umumnya yang ukuran ketebalannya sama. Rasanya, seperti ada kertas lain selain kertas kitab yang berada di halaman selanjutnya. Belum sempat reda rasa terkejutnya sebab nama almarhum Kakeknya itu, ia sudah dikejutkan lagi dengan selembar kertas putih yang berada di antara kertas kitab yang berwarna kuning. Selembaran kertas putih itu dilipat menjadi dua, sehingga terasa agak tebal. Perasaannya semakin tidak menentu. "Sepertinya, ada rahasia besar yang belum sempat diceritakan Ibu kepadaku." Gumamnya dalam hati yang ingin segera mencari kejelasan dari semua ini.

Setelah dibuka lipatannya, alangkah sedih dan terharunya, ketika kertas berwarna putih itu adalah surat terakhir Kakeknya yang berisi wasiat untuk Ibunya. Tidak terlalu panjang, namun sangat jelas maksud dari isi surat wasiat itu. Dengan suara lirih dan tangan yang gemetar, dibacalah surat itu yang bertuliskan :

"Teruntuk anakku tersayang, butuh waktu yang sangat lama untuk bisa memahami kitab kuning itu. Bapak sadar betul bahwa waktu yang sebentar ini, belum cukup berhasil untuk bisa memahaminya. Jadi, jika nanti ajal sudah tiba, Bapak berharap perjuangan ini ada yang melanjutkan. Jangan sampai ini terhenti dan tidak ada yang meneruskan."

Seketika air matanya menetes, tangisnya tersedu-sedu, dan hembusan napasnya tak lagi beraturan. Masih terbayang dalam ingatannya, bahwa ia pernah menolak permintaan sang Ibu untuk menimba ilmu di tempat yang diinginkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun