Mohon tunggu...
Zein Maestro
Zein Maestro Mohon Tunggu... Lainnya - Pria bersahaja dengan segala kesederhanaan

Sukses tanpa penderitaan laksana perahu di atas daratan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Kang Santri

11 Mei 2020   00:09 Diperbarui: 13 Mei 2020   18:50 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, alih-alih punya banyak teman dan pengalaman baru, justru malah menimbulkan masalah baru. Semua mulai terasa saat peristiwa itu terjadi, di mana ada rahasia yang belum sempat terungkap. Mungkin, memang inilah skenario yang sengaja dibuat Tuhan dan tentu saja ini tidak akan melewati batas dari kemampuan hamba-Nya. Tak ada pilihan lain selain berusaha untuk selalu menikmatinya.

Menjalani sesuatu yang menjadi pilihan diri sendiri adalah hal yang sangat diinginkan banyak orang, tak akan ada beban yang dapat menghambat laju dari apa yang sudah dipilih. Sebesar apa pun kendalanya dan seberat apa pun resikonya, tidak akan mampu menghentikan semuanya. Kesadaran akan sebuah pilihan itulah yang membuat segalanya menjadi indah untuk dijalani dan dinikmati.

Namun, itu semua tak pernah tampak dalam kehidupan Kang Zein. Ia selalu mengalah dan mengikuti pilihan dari orang tuanya dalam segala hal, termasuk masa depannya. Apa pun yang diinginkan orang tuanya, selalu diwujudkan. Ingin rasanya bisa seperti teman-temannya yang selalu dikabulkan segala permintaannya. Sampai suatu ketika ia berjanji dalam hatinya, "Setelah lulus nanti, aku harus kuliah seperti teman-temanku meski belum mendapat izin dari orang tuaku."

Tepat di akhir bulan April, ujian akhir sekolah telah selesai dilaksanakan. Ini berarti, tinggal menunggu beberapa bulan saja untuk bisa mengetahui hasil pengumumannya. Dengan penuh semangat, Kang Zein berusaha mencari informasi seputar dunia perkuliahan, mulai dari bertanya kepada kakak kelasnya, sampai mencarinya lewat internet. Pencarian pun membuahkan hasil dengan masuknya dua nama kampus ke dalam daftar incarannya.

"Nak, nanti setelah lulus. Kamu mau 'kan lanjut sekolah di tempat yang khusus mendalami kitab kuning?" pinta Ibunya sebelum pengumuman kelulusan.
"Ngga, Bu. Aku mau langsung kuliah. Mau cari pengalaman dan teman baru." Jawabnya seraya menolak permintaan Ibunya.
"Kenapa, Nak? Bukankah di sana juga dapat pengalaman dan teman baru?" lanjut Ibunya untuk lebih meyakinkannya.
"Iya, sih. Tapi 'kan sulit sekali, Bu. Belajar kitab kuning itu, banyak banget yang harus dihafalkan." Sahutnya sembari menolak dengan cara yang halus.
"Sulit itu, karena belum terbiasa. Kalau sudah terbiasa, semua akan jadi mudah kok." Nasihat Ibunya seraya menutup obrolan itu.

Harapan yang sudah di depan mata, kini telah sirna. Bayangan bisa kuliah bersama teman-temannya pun musnah, semua bagai angin yang berlalu. Satu hal yang membuatnya rela mengorbankan harapannya adalah kebahagiaan orang tuanya. Ia sadar betul bahwa untuk saat ini, belum ada yang bisa diberikan kepada orang tuanya, selain membahagiakannya dengan mewujudkan apa yang menjadi keinginannya.

Setalah ia dinyatakan lulus ujian akhir sekolah, rasa bahagia dan sedih menyelimutinya. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena bisa menyelesaikan pendidikannya dengan sempurna. Di sisi yang lain, ia merasa sedih karena harapan untuk dapat kuliah belum bisa terwujud. Di saat yang lainnya disibukkan dengan materi ujian tes masuk perguruan tinggi, ia justru malah disibukkan dengan materi ujian tes masuk sekolah yang khusus mendalami kitab kuning.

Hari-hari di tempat itu berbeda dengan sebelumnya, keramaian yang dirasakan pun tak lagi sama, semua dilaluinya dengan penuh keikhlasan demi kebahagiaan orang tuanya. Tak terasa, tiga tahun pun telah berlalu. Rasanya, baru kemarin ia dan keluarga mendatangi tempat itu. Harapan yang dahulu pernah mati, kini mulai hidup kembali. Kali ini tak ada yang bisa menghalangi keinginannya untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Meski sebenarnya, Ibunya menginginkan dia untuk tetap melanjutkan kuliah di tempat itu.

Habis gelap terbitlah terang, kiranya itulah yang sedang dialaminya. Berkat usaha dan doanya setiap waktu, ia berhasil masuk perguruan tinggi yang sejak dahulu memang sudah direncanakan. Segala sesuatu yang bisa meningkatkan kualitasnya, selalu didukung oleh orang tuanya. Apa pun yang dibutuhkannya selama kuliah, selalu dipenuhi juga oleh orang tuanya. Semua itu berlangsung sampai ia memasuki semester dua.

Masalah baru itu pun muncul. Kala itu, libur akhir semester telah tiba. Ini berarti, tak ada lagi tugas kuliah yang harus diselesaikan. Demi memanfaatkan waktu libur yang lumayan panjang, Kang Zein selalu menyempatkan diri untuk membuka kembali beberapa kitab kuning yang pernah dipelajarinya di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Tak banyak koleksi kitab kuning yang dimilikinya, hanya beberapa kitab yang sekiranya bisa menjadi alat bantu untuk memahami kitab yang lainnya. Semua tersusun rapi di rak buku pemberian Ibunya.

Sore itu, sebelum mentari terbenam. Ia duduk di ruang belajarnya dan membuka semua jendela sambil menikmati indahnya langit sore. Saat itu, ia ingin mencoba mengulang kembali hafalan-hafalan syair yang pernah dikuasainya. Tidak kurang dari lima kitab syair pernah dihafalnya dalam kurun waktu tiga tahun. Setiap dari kitab syair itu ada yang berisi puluhan, ratusan, bahkan sampai ribuan syair.
Alangkah sangat terkejutnya, belum sampai di pertengahan kitab, tiba-tiba hafalannya terhenti. Tak ada yang tergambar sedikit pun dalam ingatannya tentang kelanjutan dari syair itu, semua yang pernah dihafalnya seakan hilang begitu saja bagai ditelan bumi. "Apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai lupa seperti ini?" gumamnya dalam hati.

Sebelum itu semua terjadi, Kang Zein adalah sosok santri yang terbilang cepat dalam menghafalkan syair, jika dibandingkan dengan yang lainnya. Tak jarang ia mendapat pujian dari teman-temannya. Bahkan, kekuatan dan kecepatan hafalannya juga sudah diakui oleh para gurunya. Di saat yang lain baru mulai menghafalkan pelajaran yang akan disetorkan hari ini, ia sudah memiliki hafalan pelajaran yang akan disetorkan lusa. Tentu saja ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri yang dimilikinya.

"Kang Santri, sangat sulit menjaga hafalan syair ini saat kalian di rumah nanti. Siapkan waktu khusus dalam sehari untuk mengulang kembali hafalan ini." Pesan Mbah Yai kepada para santri kelas akhir. Benar saja, apa yang pernah disampaikan beliau akhirnya terbukti. Sulit rasanya membagi waktu antara mengulang hafalan dan menyelesaikan tugas kuliah. Belum lagi ditambah rasa malas yang datang tak kenal waktu.

Sedih, kecewa, marah, dan hampir putus asa. Semua berkumpul menjadi satu dalam sanubarinya. Tak ada yang harus disalahkan selain diri sendiri, perasaan bangga yang dahulu ada seakan lenyap dan musnah. Semua berubah menjadi kekecewaan yang tiada tara dan penyesalan yang begitu mendalam karena telah melanggar dan tidak menjalankan pesan dari Mbah Yai.

Kini, hafalan-hafalan syairnya telah sirna. Kitab-kitab syair yang ada di ruangan itu, tidak lebih dari sekedar kitab yang tersusun sejajar dengan buku pelajaran kuliahnya. Tak ada yang istimewa dari semua itu, selain hanya sebatas koleksi dan pajangan semata. Terlintas di dalam hatinya, "Ini adalah murni kesalahanku, bukan karena lantaran aku pernah menolak permintaan Ibu waktu itu."

Tak mau larut dalam kesedihannya, segera ia tata ulang kembali beberapa koleksi kitab dan bukunya itu. Seketika pandangannya tertuju pada sebuah kitab yang sudah agak lusuh dan sedikit kusam, terletak di bagian bawah rak kitab yang jarang sekali tersentuh dan berada di barisan paling kanan.

Perlahan mulai disingkirkan kitab yang lainnya agar mudah mengambilnya, dibersihkan sedikit debu yang menempel di kitab itu dengan kain pembersih. "Sepertinya, aku tidak pernah punya kitab dengan model seperti ini." Ucapnya sambil membersihkan kitab itu. Setelah debu di kitab itu hilang, dengan rasa penasaran dan penuh tanda tanya, ia mulai membuka halaman pertamanya untuk mencari dan memastikan siapa sebenarnya pemilik kitab ini.

Sungguh tak disangka dan tak diduga, betapa sangat terkejut dan kagetnya, ketika tertulis jelas nama almarhum Kakeknya di halaman pertama kitab itu. "Kenapa bisa ada di sini, bukankah ini adalah pusaka peninggalan dari Kakek yang diberikan kepada Ibu?" ucapnya seraya bertanya kepada keadaan yang semakin membingungkan. Terlintas dalam benaknya, ingin segera menemui Ibu untuk meminta penjelasan atas apa yang sebenarnya pernah terjadi. Namun, hatinya masih ingin tetap melanjutkan ke halaman selanjutnya.

Tidak seperti kitab pada umumnya yang ukuran ketebalannya sama. Rasanya, seperti ada kertas lain selain kertas kitab yang berada di halaman selanjutnya. Belum sempat reda rasa terkejutnya sebab nama almarhum Kakeknya itu, ia sudah dikejutkan lagi dengan selembar kertas putih yang berada di antara kertas kitab yang berwarna kuning. Selembaran kertas putih itu dilipat menjadi dua, sehingga terasa agak tebal. Perasaannya semakin tidak menentu. "Sepertinya, ada rahasia besar yang belum sempat diceritakan Ibu kepadaku." Gumamnya dalam hati yang ingin segera mencari kejelasan dari semua ini.

Setelah dibuka lipatannya, alangkah sedih dan terharunya, ketika kertas berwarna putih itu adalah surat terakhir Kakeknya yang berisi wasiat untuk Ibunya. Tidak terlalu panjang, namun sangat jelas maksud dari isi surat wasiat itu. Dengan suara lirih dan tangan yang gemetar, dibacalah surat itu yang bertuliskan :

"Teruntuk anakku tersayang, butuh waktu yang sangat lama untuk bisa memahami kitab kuning itu. Bapak sadar betul bahwa waktu yang sebentar ini, belum cukup berhasil untuk bisa memahaminya. Jadi, jika nanti ajal sudah tiba, Bapak berharap perjuangan ini ada yang melanjutkan. Jangan sampai ini terhenti dan tidak ada yang meneruskan."

Seketika air matanya menetes, tangisnya tersedu-sedu, dan hembusan napasnya tak lagi beraturan. Masih terbayang dalam ingatannya, bahwa ia pernah menolak permintaan sang Ibu untuk menimba ilmu di tempat yang diinginkannya.

Pada akhirnya, ia pun mulai sadar bahwa keinginan Ibunya yang begitu besar agar dirinya bisa sekolah bahkan sampai kuliah di tempat itu, semata-mata hanya karena ingin menjalankan apa yang diwasiatkan oleh Kakeknya. Jika waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya menebus segala kesalahannya yang dahulu. Andaikan sejak awal ia sudah mengetahuinya, tentu tak akan ada penyesalan seperti ini. Namun, ini sudah terjadi dan tidak ada yang sia-sia karena di balik semua ini pasti ada hikmahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun