Saat ujian catur wulan tiba, petromaks menjadi senjata utama. Bapak memastikan setiap bagiannya bersih: dapur lampu, spuyer, kaca. Tangannya yang kapalan piawai memompa. Cahaya yang keluar malam itu adalah hasil keringat, juga hasil keteguhan Bapak menawar di toko, menahan marah si pemilik, dan menekan harga demi terang yang akhirnya kami nikmati bersama.
Lampu itu kadang dipinjam tetangga untuk ronda malam, kenduri kecil, atau doa arwah. Ia berjalan dari rumah ke rumah, menjadi saksi persaudaraan di kampung. Kami menunggu kepulangannya dengan resah, seolah menanti ibu yang belum pulang dari pasar di tengah hujan deras.
Ada pula malam duka. Ketika nenek menjelang ajal, wajahnya disinari cahaya petromaks. Nyala itu bergetar halus, seperti memberi tanda bahwa semua yang menyala akhirnya padam. Bapak memutar katup, mengecilkan terang, agar tidak menyilaukan mata nenek yang pelan-pelan terpejam. Di bawah cahaya itu, kami belajar arti merelakan.
Zaman Berganti, Kenangan Tinggal
Tahun berganti. Dinding bambu diganti tembok, tikar daun lontar diganti karpet plastik. Petromaks tak lagi tiap malam turun dari gantungan. Ia lebih sering duduk di atas lemari, di samping album foto dan jam kayu yang jarumnya sudah lama berhenti. Listrik masuk kampung, tombol kecil di dinding menggantikan ritual panjang Bapak. Sekali tekan, cahaya putih dingin memenuhi ruangan.
Kami tak lagi mencium minyak tanah, tak lagi mendengar dengung lebah yang khas itu. Kemudahan datang, tapi bersama itu hilang pula sebuah pesta kecil setiap senja: menanti api, menahan napas saat nyala memekik, lalu bersyukur ketika akhirnya cahaya jinak.
Dan ketika kini listrik padam sebentar, orang-orang segera menyalahkan PLN, seakan gelap adalah kesalahan. Padahal, petromaks pernah mengajarkan kami: gelap juga punya makna. Gelap membuat terang jadi berharga.
Terang yang Selalu Layak Dibela
Kadang aku turunkan petromaks dari gantungan. Kaca kusamnya masih menyimpan sidik jari masa lalu. Tangkinya masih bisa memantulkan wajahku, meski sudah dipenuhi goresan. Aku pompa, aku nyalakan. Dengung kecil itu kembali terdengar. Bayangan wajahku menari di tangki, dan di situ aku melihat Bapak: dengan senyum sabarnya, dengan tangan yang lihai menawar, dengan keyakinan bahwa anak-anaknya layak mendapat terang, meski harus dicapai dengan tawar-menawar keras dan pengorbanan yang tak terlihat.
Malam itu, aku biarkan lampu menyala sampai minyaknya habis. Saat nyalanya pelan-pelan meredup, aku tak berusaha menambah. Biarlah padam datang dengan wajar. Karena dari petromaks, aku belajar: tak semua malam perlu terang. Dan justru karena itulah, cahaya menjadi sesuatu yang begitu agung.
Petromaks itu Sudah Pensiun