Mohon tunggu...
Zefirinus Lewoema
Zefirinus Lewoema Mohon Tunggu... The writer is a PhD candidate at the Knowledge, Technology and Innovation Chair Group, Wageningen University and Research, The Netherlands. A former recipient of the International Fellowship Program and now an LPDP-RI Scholarship awardee, he writes passionately about indigenous knowledge, post-colonial perspectives, traditional farming, and the future of rural communities.

Penggemar buku, tulisan dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petromaks di Tangan Bapak

17 September 2025   15:07 Diperbarui: 17 September 2025   15:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hampir melompat kegirangan. Lampu itu dimasukkan ke dalam kotak kardus yang bergambar persis lampu petromaks. Kami pulang seperti sedang mengangkut bulan ke rumah kami yang berdinding bambu.

Cahaya yang Jadi Anggota Keluarga

Sejak hari itu, petromaks menjadi bagian dari keluarga. Ia tak sekadar benda, tapi semacam teman yang setia hadir di setiap senja. Saat ayam sudah berhenti berkokok dan jangkrik mengambil alih malam, Bapak menyiapkan lampu itu. Tangkinya dibuka, minyak tanah dituangkan pelan-pelan lewat corong kecil, spuyer dilepas lalu dibersihkan, kaos lampu dipasang dengan hati-hati.

"Jangan sampai tersentuh jari," pesan Bapak, "lampu ini butuh kesucian agar cahayanya jernih."

Ketika api pertama menyala, nyalanya meninggi, meliuk-liuk, liar seperti anak kecil yang baru belajar berlari. Kami spontan mundur, takut sekaligus kagum. Bapak hanya tersenyum, memutar katup, menunggu hingga nyala itu luluh, ditundukkan oleh kaos lampu yang rapuh. Dengung halus terdengar, seperti suara lebah, dan rumah kami seketika menjelma pulau terang di tengah gulita kebun.

Aroma minyak tanah menyeruak, menempel di rambut, bantal, bahkan di buku-buku pelajaran. Bau itu dulu terasa sepele, tapi kini yang tersisa justru kerinduan.

Lingkaran Belajar dan Doa

Kami duduk melingkar di meja, wajah-wajah kami terpantul aneh di tangki lampu bersalut nikel lampu. Mata berbayang dua, hidung berganda, tawa jadi patah-patah. Bapak membuka buku, meletakkan penggaris di atasnya. Ibu menuang teh manis ke gelas kaleng dengan bunga-bunga yang catnya sudah mengelupas. Di bawah cahaya itu, huruf-huruf di buku seolah bangkit dari tidur, menari di halaman.

"Cahaya ini harus dijaga," kata Bapak. Kami paham, tugas itu juga ada di tangan kami: membersihkan kaca, mengganti kaos lampu yang rapuh, memompa udara agar nyala tetap hidup.

Petromaks itu sekaligus jam malam kami. Bila dengungnya melemah, kami tahu waktunya tidur. Minyak tanah di dalam tangki adalah jarum jam yang menentukan panjangnya malam. Kadang minyak tinggal sedikit; cukup untuk menghafal tiga rumus, satu definisi, dan sebaris puisi. "Tidak semua malam berhak terang," kata Bapak. Kami belajar menerima: gelap pun punya haknya sendiri.

Ujian dan Persaudaraan Kampung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun