Tak pernah berubah. Kau masih seperti aliran kecil air yang tercipta dari butiran hujan, yang terhalang sehelai daun kering. Memilih berhenti dan bertahan dengan tenang menjadi genangan. Atau mencari jalur baru untuk berpindah, agar bisa meneruskan perjalanan.
"Aku lupa. Kau membenci kemarau, kan?"
Kau meraih kedua gagang pintu, sebelum mengatupnya dengan kedua tanganmu. Aku mengerti, kau tak butuh jawabku.
***
Aku tak pernah membenci kemarau. Namun, apa yang bisa kuceritakan tentang kemarau?
Tak mungkin kuulangi kisah. Jika kemarau hanya memupuk benih resah yang berujung gerah. Seperti penembak jitu yang mengendap dalam bisu kemudian menentukan sasaran tunggu. Dalam senyap membidik sebutir peluru, meledakkan bilik jantung emosi yang kau sebut amarah.
Atau aku harus mengarang sebuah cerita, rahasia dari padang sabana yang menguning dan mengering ketika kemarau?
Bahwa rerumputan itu tidak benar-benar mati, hanya sejenak jeda mematuhi petuah alam. Ritual alam sedang mengajarkan makna berjuang dan hakikat bertahan. Ketika kegersangan menjadi undakan perintang sebuah episode kehidupan.
Sebelum kau menutup pintu. Sungguhnya aku begitu ingin berbisik ke telingamu:Â Â "Seperti hujan, kemarau pun tak mampu menggugurkan helai-helai rindu."
***
"Kau tak ingin menceritakan senjamu?"
Aku menatapmu. Kau memandang langit. Tapi aku tahu, kau tak akan pernah meratapi kehadiran hujan, yang mengusir bias jingga ke sudut pergantian hari.
"Senja bukan cara matahari mengucapkan perpisahan. Tapi senja adalah upaya terakhir matahari menunda malam yang hanya menawarkan kegelapan. Dan, hujan sore ini pun tak menyediakan senja untukku. Kau sepertiku?"