Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Seperti Hujan, Kemarau Tak Mampu Menggugurkan Helai-helai Rindu

14 November 2021   16:13 Diperbarui: 16 November 2021   17:45 569 74
"Ceritakanlah tentang hujanmu padaku."

Aku mendengar bisikmu. Tapi kau tak menatapku. Matamu tertumbuk pada rumpun mawar yang meringkuk kedinginan di halaman. Jemarimu menjumput tirai jendela, yang berhamburan disesaki embusan angin senja.

"Kau tahu? Angin pun tak mampu mengusir derai hujan!"

Lagi. Aku mendengar bisikmu. Dan masih. Kau tak menatapku.

***
Apa yang harus kuceritakan tentang hujan?

Tak mungkin aku menceritakan kesepian matahari. Sendiri, memetik butiran bening embun yang dititipkan pagi, kepada dedaunan, ranting, dan pepohonan. Atau memungutnya satu-persatu di antara hamparan rerumputan.

Langit mungkin menyimpan jejak rahasia perjalanan, ketika diam-diam gumpalan awan tebal menciptakan mendung. Kemudian membiarkan sekawanan angin mengajaknya mengembara mencari satu titik persinggahan.

Hingga tak terbendung, dan tanpa perlawanan. Kembali berjatuhan di halaman rumah. Sebagian menyentuh rumpun mawar yang kau tanam, dan tertunduk pasrah. Sebagian kecil menjadi tempias yang diterpa angin, dan singgah pada tirai jendela yang basah.

Dari titik mana aku memulai kisah, untuk menceritakan kepadamu tentang prosesi alam yang kau namakan hujan?

***
"Kalau begitu, ceritakanlah kemaraumu padaku."

Tak pernah berubah. Kau masih seperti aliran kecil air yang tercipta dari butiran hujan, yang terhalang sehelai daun kering. Memilih berhenti dan bertahan dengan tenang menjadi genangan. Atau mencari jalur baru untuk berpindah, agar bisa meneruskan perjalanan.

"Aku lupa. Kau membenci kemarau, kan?"

Kau meraih kedua gagang pintu, sebelum mengatupnya dengan kedua tanganmu. Aku mengerti, kau tak butuh jawabku.

***
Aku tak pernah membenci kemarau. Namun, apa yang bisa kuceritakan tentang kemarau?

Tak mungkin kuulangi kisah. Jika kemarau hanya memupuk benih resah yang berujung gerah. Seperti penembak jitu yang mengendap dalam bisu kemudian menentukan sasaran tunggu. Dalam senyap membidik sebutir peluru, meledakkan bilik jantung emosi yang kau sebut amarah.

Atau aku harus mengarang sebuah cerita, rahasia dari padang sabana yang menguning dan mengering ketika kemarau?

Bahwa rerumputan itu tidak benar-benar mati, hanya sejenak jeda mematuhi petuah alam. Ritual alam sedang mengajarkan makna berjuang dan hakikat bertahan. Ketika kegersangan menjadi undakan perintang sebuah episode kehidupan.

Sebelum kau menutup pintu. Sungguhnya aku begitu ingin berbisik ke telingamu:  "Seperti hujan, kemarau pun tak mampu menggugurkan helai-helai rindu."

***
"Kau tak ingin menceritakan senjamu?"

Aku menatapmu. Kau memandang langit. Tapi aku tahu, kau tak akan pernah meratapi kehadiran hujan, yang mengusir bias jingga ke sudut pergantian hari.

"Senja bukan cara matahari mengucapkan perpisahan. Tapi senja adalah upaya terakhir matahari menunda malam yang hanya menawarkan kegelapan. Dan, hujan sore ini pun tak menyediakan senja untukku. Kau sepertiku?"

Aku melihat gerakan perlahan tirai jendela. Temaram cahaya lampu menemani sepi di beranda. Malam berkunjung dalam diam. Namun, tidak diam-diam.

***
Tubuh mungil itu sejak tadi berbaring di sisimu. Jemarimu mengusap rambutnya yang legam. Dan matamu menatap sepasang mata teduh yang tak ingin terpejam.

"Apakah Ayah pernah bercerita tentang hujan?"
"Iya. Pernah."
"Kemarau?"
"Ibu lupa, Nak. Tidurlah!"


Dalam hening. Kau benamkan tubuh mungil itu ke dalam pelukan. Aku menyelami airmatamu di kejauhan.

Curup, 14.11.2021
Zaldy Chan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun