Satu pertanyaan hadir di beranda. Segelas kopi kau letakkan di atas meja. Kau memilih duduk di sampingku.
"Terpaksa?"
"Lah? Kok..."
"Karena hujan tidak tahu..."
"Tidak tahu cara jatuh ke atas? Itu sudah pernah Mas jawab, kan?"
"Oh! Lupa!"
Kau tertawa. Aku tak menghitung, berapa kali, kau ajukan pertanyaan yang sama. Dan, malam ini, aku kembali harus menemukan jawaban yang berbeda.
"Hujan adalah ruang rahasia."
Aku tersenyum, kemudian meraih gelas berkopi. Dan menyesap sedikit isinya. Sebelum kembali meletakkan ke tempat semula. Di atas meja.
Kau mengubah posisi dudukmu menghadapku. Menunggu.
"Ada ribuan butiran hujan yang berjatuhan. Mereka tak pernah memilih, namun pasrah pada garis yang sudah ditetapkan."
Kau tetap diam. Aku menatap wajahmu.
"Pada ribuan butiran hujan itu, kutitipkan rasa dan asaku untukmu. Aku berharap suatu saat nanti, entah kapan, akan ada satu di antara butiran hujan itu menjadi milikmu."
Kurasakan genggaman erat tanganmu di genggamanku. Sesaat, hening menguasai beranda. Kulepas genggaman tanganmu. Membiarkan jemariku melakukan inginku.
"Tapi bukan airmatamu"
***