Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Rahasia Hujan

9 November 2021   12:24 Diperbarui: 9 November 2021   12:38 1163 53
"Hujan, Mas!"

Kau simpan tatapanmu ke halaman. Butiran hujan berjatuhan sebagai tamu. Tapi tidak di ruang tamu sepertiku. Ia bertemu kuncup mawar yang bersiap mekar di sisi pagar. Namun, menghilangkan senyummu. Untukku.

"Jangan marahi hujan! Ia tidak tahu bagaimana caranya jatuh ke atas."

Kali ini. Kembali kulihat segaris senyummu. Perlahan berubah jadi tawa tertahan, berujung satu gerakan pelan di lengan. Cubitanmu. Untukku.

"Iiih..."

Aku terkadang lupa. Jika tak lagi kau temukan kata-kata, maka cubitanmu akan hadir mewakili rasa. Dan, tak cukup sekali.

"Tunggu reda, ya?"

Tak ada jawabmu. Aku memilih bisu. Bagimu, rindu bukan seperti hujan. Bertamu dan bertemu.

***
"Mas mau datang?"

Satu pertanyaan kau hadirkan untukku. namun, matamu menjauh dari tatapan mataku. Memandang genangan dan dedaunan yang basah. Kemudian beralih pada bangku-bangku taman yang dibiarkan sunyi.

Hujan adalah cara rahasia pemilik alam untuk melahirkan sepi.

Aku tahu. Kau pasti mengerti. Pertanyaan itu tak hanya butuh jawaban. Tapi juga sebuah keputusan. Dariku. Kepada ayah dan ibumu.

***
"Mau pulang? Masih hujan, Mas!"
"Kan, belum boleh nginap?"
"Iiih..."

Kurasakan perih di lenganku. Lagi, kau menyentuh lengan bajuku. Kali ini tanpa cubitan.

"Masih basah, Mas."
"Kan, tadi hujan?"
"Seharusnya...."

Malam ini, hujan kembali menemaniku bertamu ke rumahmu. Menjumpai ayah dan ibumu. Dan, meminta keduanya merelakan dirimu untukku.

Kau memilih diam. Aku menatap butiran hujan di kegelapan malam. Kau berjibaku menekan rasa bersalah. Aku membeku berlindung dengan pakaian yang basah.

"Aku harus datang, kan?"

Tak mungkin kucegah airmatamu. Usapan ujung jemariku di sudut matamu, adalah cara terbaik untuk menepikan risaumu.

"Aku datang untukmu. Bukan karena orangtuamu."

***
"Mas..."

Tak perlu dua kali. Sayup, kudengar tawamu saat aku berlari ke halaman. Menembus rinai, berpacu dengan butiran hujan. Kemudian tergesa menghampiri serta menyelamatkan cucian yang terhampai di tali jemuran.

"Basah lagi, Mas?"
"Iya."
"Pakaian Adek?"
"Masih lembab! Mas setrika aja, ya?"

Kau duduk di sampingku. Memangku bayi mungil di pelukanmu. Sesekali tersenyum melihat gerak tanganku yang gagap mengayun setrikaan.

Bagi seorang ibu yang baru melahirkan. Hujan adalah ujian.

"Gantian, Mas!"

Kalimat itu bukan pertanyaan. Tapi permintaan. Kau letakkan sosok mungil di dalam dekapanmu ke tempat tidur. Tanpa suara, kau ambil alih setrika.

"Mas tadi lagi nulis?"
"Iya."
"Nulis apa? Puisi? Cerpen? Atau..."
"Cerpen. Tapi baru dua paragraf!"
"Tentang apa?"
"Hujan!"

Aku terlambat. Telapak tanganmu telah lebih dulu singgah di pahaku.

Plak! Plak! Plak!

***

"Kenapa Mas menyukai hujan?"

Satu pertanyaan hadir di beranda. Segelas kopi kau letakkan di atas meja. Kau memilih duduk di sampingku.

"Terpaksa?"
"Lah? Kok..."
"Karena hujan tidak tahu..."
"Tidak tahu cara jatuh ke atas? Itu sudah pernah Mas jawab, kan?"
"Oh! Lupa!"

Kau tertawa. Aku tak menghitung, berapa kali, kau ajukan pertanyaan yang sama. Dan, malam ini, aku kembali harus menemukan jawaban yang berbeda.

"Hujan adalah ruang rahasia."

Aku tersenyum, kemudian meraih gelas berkopi. Dan menyesap sedikit isinya. Sebelum kembali meletakkan ke tempat semula. Di atas meja.

Kau mengubah posisi dudukmu menghadapku. Menunggu.

"Ada ribuan butiran hujan yang berjatuhan. Mereka tak pernah memilih, namun pasrah pada garis yang sudah ditetapkan."

Kau tetap diam. Aku menatap wajahmu.

"Pada ribuan butiran hujan itu, kutitipkan rasa dan asaku untukmu. Aku berharap suatu saat nanti, entah kapan, akan ada satu di antara butiran hujan itu menjadi milikmu."

Kurasakan genggaman erat tanganmu di genggamanku. Sesaat, hening menguasai beranda. Kulepas genggaman tanganmu. Membiarkan jemariku melakukan inginku.

"Tapi bukan airmatamu"
***

"Hujan, Mas!"

Kau berjalan pelan. Menggenggam erat jemari mungil yang tertatih mengikuti langkah kakimu. Meninggalkan jejak di tanah merah yang basah.

"Besok kita ke sini lagi, Bu?"

Wajahmu menatap langit. Membiarkan hujan membasuh rasa sakit.

Akhirnya kau mengerti. Butiran hujan adalah cara paling rahasia, menyembunyikan airmata.

Curup, 09.11.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun